BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Stroke
adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progesif cepat, berupa defisit neurologis fokal, atau global, yang berlangsung 24 jam atau
lebih atau langsung menimbulkan kematian (Rendy & Margareth, 2012). Stroke disebabkan oleh gangguan suplai darah ke otak, biasanya karena
semburan pembuluh darah atau tersumbat oleh gumpalan. Hal
ini
memotong pasokan
oksigen dan nutrisi, menyebabkan
kerusakan pada jaringan otak.
Gejala yang paling
umum dari
stroke adalah kelemahan mendadak atau mati rasa pada wajah, lengan atau
kaki, paling sering pada satu
sisi tubuh. Gejala lain yang
menyertai meliputi kebingungan, kesulitan
berbicara atau memahami
pembicaraan, kesulitan melihat dengan
satu atau kedua mata, kesulitan berjalan,
pusing, kehilangan keseimbangan atau
koordinasi, sakit kepala parah dengan tidak diketahui penyebabnya, pingsan atau tidak sadarkan diri.
Akibat yang ditimbulkan oleh stroke tergantung pada bagian mana
dari otak yang terluka dan seberapa parah itu
terpengaruh. Stroke yang sangat parah dapat menyebabkan kematian mendadak
(WHO, 2014).
Stroke
menjadi masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus. Penyakit serebrovaskular ini merupakan salah satu
penyebab utama kecacatan fisik dan kematian di dunia. Berdasarkan data World
Health Organization (WHO) tahun 2011, stroke menjadi penyebab kematian kedua
di dunia setelah penyakit jantung iskemik.
Setiap tahun terdapat sekitar 795.000 orang mengalami serangan stroke, 610.000
diantaranya adalah stroke serangan pertama, sedangkan 185.000 lainnya merupakan
stroke serangan berulang. Pada tahun 2008, angka kematian akibat stroke di
Amerika Serikat mencapai 134.148 jiwa. Rata-rata dalam waktu 4 menit, satu
orang meninggal akibat stroke (Roger et al., 2012).
Sedangkan,
Badan kesehatan dunia memprediksi bahwa kematian akibat stroke akan meningkat,
yaitu seiring dengan kematian akibat penyakit jantung dan kanker kurang lebih 6
juta pada tahun 2010 menjadi 8 juta di tahun 2030. Berdasarkan pernyataan yayasan
Stroke Indonesia, masalah stroke semakin penting dan mendesak saat ini, karena
jumlah penderita stroke di Indonesia terbanyak dan menduduki urutan pertama di
Asia. Jumlah yang disebabkan oleh stroke menduduki urutan kedua pada usia
diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia 15-59 tahun. Stroke merupakan penyebab
kecacatan serius menetap nomor 1 di seluruh dunia (Turana & Arini, 2011).
Prevalensi stroke di
Indonesia mencapai angka 12,1 per 1000 penduduk. Daerah yang memiliki
prevalensi stroke tertinggi adalah Sulawesi Selatan
(17,9‰) diikuti oleh DI Yogyakarta (16,9‰), dan Papua (9,4‰) (Riskesdas, 2013). Sedangkan, prevalensi
stroke menurut kabupaten/kota di Papua adalah 4 per 1000 penduduk, berkisar 0%
- 12%. Prevalensi stroke tertinggi adalah kabupaten Boven Digoel (12%), dan
Jayapura (3%) (Riskesdas, 2010).
Pasien
stroke yang dapat bertahan hidup berisiko mengalami kecacatan fisik, seperti
paralisis pada satu bagian tubuh, hilangnya kemampuan berbicara atau memahami
pembicaraan orang lain, kehilangan memori, dan perubahan tingkah laku (Robbins et
al., 2011). Selain itu, pasien stroke juga akan dibayangi masalah kesehatan
yang serius selama hidupnya, yaitu serangan stroke berulang. Stroke berulang
memiliki risiko kematian dan kecacatan lebih tinggi disbanding stroke serangan
pertama, karena sel-sel otak yang telah rusak oleh stroke sebelumnya sulit
untuk disembuhkan kembali (National Stroke Association, 2012).
Stroke
menduduki urutan ketiga terbesar penyebab kematian setelah penyakit jantung dan
kanker, dengan laju mortalitas 18% sampai 37% untuk stroke pertama dan 62%
untuk sroke berulang. Diperkirakan 25% orang yang sembuh dari stroke yang
pertama akan mendapatkan stroke berulang dalam kurun waktu 5 tahun . Hasil
penelitian epidemiologis menunujukan bahwa terjadinya risiko kematian pada 5
tahun pasca stroke adalah 45% - 61 % dan terjadinya stroke berulang 25% - 37% (Yulianto,
2011).
Menurut
studi Framingham, insiden stroke berulang dalam kurun waktu 4 tahun adalah pada
pria 42% dan wanita 24%. Mendapatkan kejadian stroke berulang 29,52% yang
paling sering terjadi pada usia 60 – 69 tahun (36,5%), dan pada kurun waktu 1 -
5 tahun (78,37%) dengan faktor risiko utama adalah hipertensi (92,7%) dan dislipidemia (34,2%). Sekitar 28,5%
penderita stroke di Indonesia meninggal dunia. Penelitian menunjukan stroke
menyerang pria 30 % lebih tinggi daripada wanita (Adib, 2009; dalam Alam, 2013).
Berdasarkan
studi di Oxfordshire Community Stroke
Project, risiko stroke berulang
tidak berhubungan dengan umur, jenis kelamin, tipe patologi stroke, dan riwayat penyakit jantung
atau fibrilasi atrium sebelumnya tidak berhubungan secara pasti dengan stroke berulang. Faktor
risiko yang memiliki kaitan erat dengan kejadian stroke berulang diantaranya hipertensi, kebiasaan merokok, aktifitas
fisik/olahraga, obesitas, minum alkohol, diet dan stres, pengelolaan faktor risiko
ini dengan baik akan mencegah terjadinya stroke berulang (Junaidi, 2011).
Hipertensi kronis dan tidak terkendali akan memacu kekakuan
dinding pembuluh darah kecil yang dikenal dengan mikroangiopati. Hipertensi
juga akan memacu munculnya timbunan plak
pada pembuluh darah besar. Timbunan plak
akan menyempitkan lumen atau diameter pembuluh darah. Plak yang tidak stabil akan mudah ruptur atau pecah dan terlepas. Plak
yang terlepas akan meningkatkan risiko tersumbatnya pembuluh darah yang lebih
kecil. Bila ini terjadi maka dapat menimbulkan gejala stroke (Pinzon &
Asanti, 2010; dalam Yusuf, 2013).
Merokok
memberikan konstribusi terbentuknya plak
pada arteri. Asap rokok mengandung beberapa zat berbahaya yang sering disebut
zat oksidator. Zat oksidator ini menimbulkan kerusakan
dinding arteri dan menjadi tempat penimbunan lemak, sel trombosit, kolesterol, penyempitan dan pergeseran arteri diseluruh
tubuh termasuk otak, jantung dan tungkai, sehingga merokok dapat memicu
terjadinya aterosklerosis, mengurangi
aliran darah, dan menyebabkan darah menggumpal sehingga berisiko terkena stroke
(Pinzon & Asanti, 2010; dalam Yusuf, 2013).
Berbagai
fasilitas/sarana prasarana yang menunjang proses kehidupan, seperti mencuci
dengan mesin cuci untuk rumah tangga, banyaknya kendaraaan bermotor serta
kemajuan teknologi membuat aktifitas seseorang semakin hari semakin ringan atau
mudah, namun dampak dari kemajuan teknologi ini membuat sesorang dapat menjadi
pasif dan cenderung menimbulkan masalah berat badan dan dapat meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi yang nantinya
memicu terjadinya aterosklerosis bila
masalah berat badan tidak diimbangi dengan olahraga yang cukup (Wahyu, 2009;
dalam Cristy, 2011).
Terdapat
saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan hipertensi, penyakit jantung, stroke,
diabetes mellitus dan merupakan beban penting pada kesehatan jantung dan
pembuluh darah. Obesitas dapat meningkatkan kejadian stroke terutama bila
disertai dengan dislipedemia dan hipertensi melalui proses aterosklerosis. Obesitas juga dapat
menyebabkan terjadinya stroke lewat efek snoring atau mendengkur dan tiba-tiba
henti napas karena terhentinya suplai oksigen secara mendadak di otak. Obesitas
juga membuat seseorang cenderung mempunyai tekanan darah tinggi, meningkatkan risiko
terjadinya diabetes juga meningkatkan
produk sampingan metabolisme yang berlebihan yaitu oksidan atau radikal bebas (Junaidi, 2011).
Martuti
(2009), mengemukakan bahwa mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan
darah secara cepat. Seseorang yang mengkonsumsi alkohol lebih dari 3 gelas atau
lebih setiap hari sudah cukup untuk meningkatkan tekanan darah. Selanjutnya
yaitu faktor diet, diet tinggi serat bermanfaat untuk menghindari kelebihan
lemak, lemak jenuh dan kolesterol.
Setiap gram konsumsi serat juga menghindari kelebihan gula dan natrium serta dapat menurunkan berat
badan dan mencegah kegemukan. Dietary guedelines for American menganjurkan
untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung serat 20-35 gr perhari (Martuti,
2009).
Sedangkan faktor risiko yang terakhir
adalah faktor stress. Ketika seseorang mengalami stres, maka selanjutnya tubuh
meresponnya dengan cara mengeluarkan hormon stres dan kemudian mengalami
gejolak mulekul penghantar pesan (neurotransmiter) terutama adrenalin dan
noradrenalin. Stres merangsang otak mengelurkan hormon aldosteron, kortisol, vasopresin, adenokortikotropin, dan TSH. Sejalan dengan peningkatan produksi
hormon stres, denyut jantung semakin cepat, pembuluh darah bervasokontraksi,
darah menggumpal, serta terjadi peningkatan kadar gula dan lemak darah.
Kondisi-kondisi buruk tersebut diatas yang berisiko tinggi sebagai penyebab
stroke (Lingga, 2013).
Seseorang
yang pernah terserang stroke mempunyai
kecenderungan lebih besar akan mengalami serangan stroke berulang, terutama bila faktor risiko yang ada
tidak ditanggulangi dengan baik. Oleh karena itu, perlu diupayakan prevensi
sekunder yang meliputi gaya hidup sehat dan pengendalian faktor risiko, yang
bertujuan mencegah berulangnya serangan stroke
pada seseorang yang sebelumnya pernah terserang stroke.
Berdasarkan laporan diruang penyakit
saraf RSU Jayapura dalam 6 bulan terakhir, yaitu bulan September 2015 – Februari
2016 tercatat ada 75 pasien penderita stroke dan 30 pasien diantaranya adalah pasien dengan stroke
berulang. Stroke berulang timbul karena disebabkan oleh beberapa faktor risiko.
Pada hampir seluruh pasien stroke di RSU Jayapura menunjukkan bahwa, faktor risiko
utama stroke berulang adalah hipertensi.
Berdasarkan uraian diatas agar lebih mengerti
tentang apa saja yang menjadi faktor risiko yang menyebabkan pasien mengalami
stroke berulang maka peneliti tertarik untuk meneliti “Faktor – Faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Berulang pada Pasien Stroke di RSU Jayapura”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, maka rumusan masalah penelitian
yaitu “Apakah faktor kebiasaan merokok, aktifitas fisik/olahraga, obesitas,
minum alkohol, diet dan stres memiliki pengaruh terhadap kejadian berulang pada
pasien stroke di RSU Jayapura?”.
C.
Tujuan
Penelitian
1.
Tujuan Umum
Mengetahui faktor
– faktor yang mempengaruhi kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
2.
Tujuan Khusus :
a.
Mengetahui
pengaruh kebiasaan merokok terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU
Jayapura.
b.
Mengetahui
pengaruh aktifitas fisik/olahraga terhadap kejadian berulang pada pasien stroke
di RSU Jayapura.
c.
Mengetahui
pengaruh obesitas terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
d.
Mengetahui
pengaruh minum alkohol terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
e.
Mengetahui
pengaruh diet terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
f.
Mengetahui
pengaruh stres terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
g. Mengetahui pengaruh faktor-faktor yang paling mempengaruhi
kejadian berulang secara simultan di RSU Jayapura.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Bagi Institusi
Pendidikan Kesehatan
Sebagai referensi bagi perpustakaan dan
sebagai bahan acuan bagi penelitian berikutnya dimasa yang akan datang
khususnya tentang faktor-faktor yang mempengarui kejadian berulang pada pasien
stroke.
2.
Bagi Pelayanan
Kesehatan
a.
Bagi Rumah Sakit
Menambah pengembangan pelayanan pasien
stroke dan menjadi acuan bagi Rumah Sakit dalam menentukan faktor risiko bagi pasien
stroke berulang di Ruang Penyakit Saraf RSU Jayapura.
b.
Bagi Pasien dan
Keluarga
Diharapkan pasien dengan adanya
penelitian ini dapat memahami lebih awal terhadap faktor risiko stroke
berulang, karena apabila pengelolaan faktor risiko ini
dapat dilaksanakan dengan baik, maka kejadian
stroke
berulang pada pasien juga dapat dicegah.
3.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat berguna
sebagai masukan atau informasi bagi peneliti selanjutnya dalam mengembangkan
penelitian tentang pasien stroke berulang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan
Konsep Stroke
1.
Definisi
Stroke
merupakan suatu penyakit defisit neurologis yang bersifat mendadak. Penyebabnya
adalah gangguan pada aliran pembuluh darah di otak. beberapa hal yang dapat
menyebabkan terganggunya aliran darah di otak antara lain adalah terbentuknya
sumbatan pada pembuluh darah (stroke iskemik)
maupun pecahnya pembuluh darah (stroke perdarahan), yang sama – sama dapat
menyebabkan aliran suplai darah ke otak terhenti dan muncul gejala kematian
jaringan otak (Turana & Arini, 2011).
Stroke atau cedera serebrovaskular merupakan penyakit serebrovaskular yang terjadi secara tiba – tiba dan menyebabkan
kerusakan neurologis. Kerusakan neurologis tersebut dapat disebabkan oleh
adanya sumbatan total atau parsial pada satu atau lebih pembuluh darah serebral
sehingga menghambat aliran darah ke otak. Hambatan tersebut terjadi akibat
pecahnya pembuluh darah atau penyumbatan pembuluh darah oleh gumpalan atau clot (Ikawati, 2011; dalam Thamrin
Silvia, 2014).
Stroke atau penyakit serebrovascular mengacu kepada setiap
gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya
aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya
digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark
serebrum. Istilah yang lama dan masih digunakan adalah cerebrovascular accident (CVA). Namun, istilah ini sulit
dipertahankan secara ilmiah karena patologi yang memdasari biasanya sudah ada
sejak lama dan atau mudah diidentifikasi (Price & Wilson, 2013).
Stroke didefinisikan sebagai suatu
gejala klinis atau tanda-tanda fokal yang berkembang pesat, dan secara umum
(diterapkan pada pasien koma yang
mendalam dan bagi mereka yang mengalami perdarahan subarachnoid), hilangnya
fungsi otak, dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau yang dapat
menyebabkan kematian, tanpa penyebab yang jelas selain dari gangguan
vaskularisasi (Pendlebury dkk., 2009; dalam Meidian).
Stroke adalah penyakit pada otak berupa
gangguan fungsi saraf lokal dan/atau global, munculnya mendadak, progresif, dan
cepat. Gangguan fungsi saraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara
lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak
jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain.
Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke
oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis
menderita penyakit stroke oleh nakes tetapi pernah mengalami secara mendadak
keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh
yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut menjadi mencong
tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan atau
tidak mengerti pembicaraan (Riskesdas, 2013).
Bedasarkan
beberapa uraian definisi tentang stroke diatas dapat ditarik kesimpulan stroke
adalah suatu gangguan serebrovaskular
yang menyebabkan kerusakan neurologis. Kerusakan neurologis tersebut disebabkan
oleh adanya sumbatan pada pembuluh darah atau pecahnya pembuluh darah sehingga
menghambat aliran darah ke otak.
2.
Etiologi
Penyebab
stroke dapat dibagi 3 yaitu:
a.
Trombosis
Serebri
Trombosis
ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan
iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti di sekitarnya.
Trobosis dapat terjadi akibat arterosklerosis, hiperkoagulasi pada
polisitermia, arteristis (radang pada arteri) dan emboli (Sonatha, 2012).
b.
Emboli
Serebri
Embolisme
serebri termasuk urutan kedua dari berbagai penyebab utama stroke. Penderita
embolisme biasanya lebih mudah dibandingkan dengan penderita trombosis.
Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus dalam jantung sehingga
masalah yang dihadapi sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit jantung (Price,
2005; dalam Wijaya & Putri, 2013).
c. Hemoragi
Hemoragi
dapat terjadi di luar durameter (hemoragi eksra dural atau epidural) di bawah
durameter (hemoragi subdural), di ruang sub arachnoid (hemoragi subarachnoid)
atau dalam substansial otak (hemoragi intra serebral) (Price, 2005; dalam
Wijaya & Putri, 2013).
Perdarahan intrakranial atau
intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang subaraknoid atau ke dalam
jaringan sebagai akibat dari pecahnya pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah
diakibatkan oleh adanya arterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah
otak menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan
penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan. Sehingga
otak akan membengkak, jaringan otak tertekan dan akan menyebabkan terjadinya
infark otak, edema, dan mungkin herniasi otak (Sonatha, 2012).
3.
Klasifikasi
Stroke
dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu:
a. Stroke
Hemoragi
Merupakan
pendarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid. Disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya
saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat
istirahat.Kesadaran pasien umumnya
menurun. Stroke haemorhagi adalah disfungsi nurologi fokal yang akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan
bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh
arteri, vena dan kapiler (Widjaja, 1994; dalam Wijaya & Putri, 2013).
Perdarahan
otak dibagi dua, yaitu:
1) Perdarahan
intraserebral
Perdarahan
intraserebral ke dalam jaringan otak
(parenkim) paling sering terjadi akibat cedera vascular yang dipicu oleh
hipertensi dan ruptur salah satu arteri dari banyak arteri kecil yang menembus
jauh ke dalam jaringan otak. Stroke yang disebabkan oleh perdarahan
intraserebral paling sering terjadi saat pasien
terjaga dan aktif. Karena lokasinya berdekatan dengan arteri-arteri dalam,
basal ganglia, dan kapsula interna sering menerima beban terbesar tekanan dan
iskemia yang disebabkan oleh stroke tipe ini (Sylvia & Wilson, 2013).
2) Perdarahan
Subarachnoid
Perdarahan
ini berasal dari pecahnya aneurisme berry
atau malformasi anteriovena (MAV).
Aneurisme yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi willisi dan
cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak. Pecahnya arteri dan
keluarnya ke ruang sub arachnoid menyebabkan Tekanan Intrakranial (TIK)
meningkat mendadak, merenggangnya struktur peka nyeri dan vasospasme pembuluh
darah serebral yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan
kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemi sensorik, afasia, dll)
(Wijaya & Putri, 2013).
b. Stroke Non Haemorhagic
(CVA Infark)
Stroke
iskemia umumnya menyerang pada pagi hingga siang hari (pukul 6.00-12.00) dimana
tekanan darah secara alami mengalami peningkatan dari pagi hingga siang hari
sehingga menyebabkan peningkatan perdarahan pada plak pembuluh darah (infrakplak hemoragik). Kondisi seperti
ini menyebabkan penyempitan (stenosis)
pembuluh darah yang mengalami arterosklerosis, peningkatan kekentalan (viskositas) darah, peningkatan agresi
platelet, dan penurunan aktivitas TPA (endogen
tissue plasminogen activator) (Lingga, 2013).
Menurut
perjalanan penyakit atau stadiumnya :
1) Trans Iskemik Attack
(TIA)
Suatu gangguan akut dari fungsi lokal serebral yang
gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam atau serangan sementara dan disebabkan
oleh thrombus atau emboli. Satu sampai dua jam biasanya TIA dapat ditangani,
namun apabila sampai tiga jam juga belum bisa teratasi sekitar 50 % pasien sudah terkena infark (Junaidi,
2011).
2) Reversible Ischemic Neurogical
Deficit (RIND)
Seperti
juga TIA gejala neurologi dari RIND akan menghilang lebih dari 24 jam, biasanya
RIND akan membaik dalam waktu 24-48 jam (Gofir, 2009).
3) Stroke
Involusi
Pada keadaan ini gejala atau tanda neurologis fokal
terus berkembang dimana terlihat semakin berat dan memburuk setelah 48 jam.
Defisit neurologis yang timbul berlangsung bertahap dari ringan sampai menjadi
berat (Yusuf, 2013).
4) Stroke
Komplit
Gangguan
neurologi yang timbul sudah menetap atau permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke
komplit dapat diawali oleh serangan TIA berulang (Wijaya & Putri, 2013).
4.
Patofisiologi
Otak manusia memiliki struktur yang
kompleks. Otak manusia merupakan struktur pusat pengaturan yang memiliki volume
sekitar 1.350 cc dan terdiri atas 100 juta sel syaraf atau neuron. Massa otak
hanya sekitar 2% dari massa tubuh, tetapi otak menggunakan 20% curah jantung
dari total yang dihasilkan. Glukosa dan oksigen yang dibawa melalui aliran
darah berperan penting untuk mempertahankan metabolisme sel-sel otak. Aliran
darah yang terhenti menuju ke otak akan menyebakan kerusakan dan kematian sel.
Penimbunan lemak pada pembuluh darah dapat menghambat aliran darah menuju otak.
Elastisitas pembuluh darah berkurang akibat adanya penimbunan lemak atau plak.
Kerusakan 18 pada pembuluh darah khususnya arteri yang mensuplai darah ke otak
inilah yang menimbulkan stroke (Fadlulloh, 2014).
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat
terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulus Willisi: arteria karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua
cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus
selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu
diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah
otak yang di perdarahi oleh arteri tersebut. Alasanya adalah bahwa mungkin
terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik
yang mendasari mungkin salah satu dari bergai proses yang terjadi di dalam
pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa:
a.
Keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri,
seperti pada arterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau
peradangan.
b.
Berkurangnya perfusi akibat gangguan
status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah.
c.
Gangguan aliran darah akibat bekuan atau
embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium, atau
d.
Ruptur
vascular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid. (Price, 2005; dalam Wijaya & Putri, 2013)
5.
Menifestasi
Klinis
Pasien stroke pada awalnya mengalami tanda dan gejala
berupa ketidak beresan yang sebelumnya sering dialami. Gejala tersebut meliputi
tangan dan kaki kesemutan atau kaku, pandangan kabur, pusing, keseimbangan
terganggu dengan intensitas yang lebih sering dirasakan. Hal yang perlu
diwaspadai sebagai tanda-tanda peringatan stroke meliputi pusing yang disertai
mual dan muntah, kebas pada muka, kaki dan tangan, kesulitan berkonsentrasi,
penglihatan mendadak buram, kesulitan menelan makanan, sulit memegang atau
meraih sesuatu (Lingga, 2013). Tanda lain yang mungkin muncul yaitu sering
kejang dan jatuh pingsan secara mendadak bahkan hingga kehilangan kesadaran
atau koma (Junaidi, 2011).
Stroke
menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh
darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan
jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak
tidak dapat membaik sepenuhnya. Manifestasi klinis stroke menurut Smeltzer &
Bare (2002; dalam Yusuf, 2013), antara lain defisit lapang pandang, defisit
motorik, defisit sensorik, defisit verbal, defisit kognitif dan defisit
emosional.
a.
Defisit lapang
pandangan
1)
Tidak menyadari
orang atau objek di tempat kehilangan penglihatan.
2)
Kesulitan menilai jarak.
3) Diplopia.
b.
Defisit motorik
1)
Hemiparesis
(kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama).
2)
Hemiplegi (paralisis
wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama).
3)
Ataksia (berjalan
tidak mantap, dan tidak mampu menyatukan kaki.
4)
Disartria (kesulitan
berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan
oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
5) Disfagia (kesulitan dalam menelan).
c. Defisit sensorik : kebas dan kesemutan pada bagian
tubuh
d.
Defisit verbal
1)
Afasia ekspresif
(tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami).
2)
Afasia reseptif
(tidak mampu memahami kata yang dibicarakan).
3) Afasia global (kombinal baik afasia reseptif dan
ekspresif).
e.
Defisit kognitif
1)
Kehilangan
memori jangka pendek dan panjang.
2)
Penurunan lapang
perhatian.
3)
Kerusakan
kemampuan untuk berkonsentrasi.
4) Perubahan penilaian.
f.
Defisit emosional
1)
Kehilangan
kontrol diri.
2)
Labilitas
emosional.
3)
Penurunan
toleransi pada situasi yang menimbulkan stress.
4)
Depresi.
5)
Menarik diri.
6)
Rasa takut,
bermusuhan dan marah.
7)
Perasaan
isolasi.
6.
Stroke
Berulang
Kejadian baru
dari gejala yang muncul dapat dihitung sebagai kejadian baru atau stroke
berulang, kriteria stroke secara umum dapat didefinisiskan seperti hal diatas
dan harus memenuhi:
a.
Kejadian
sebelumnya pada arteri yang sama dan terjadi pada 29 hari atau lebih dari
serangan sebelumnya.
b.
Kejadian baru
pada arteri yang berbeda dari sebelumnya dan terjadi pada 28 atau beberapa hari
dari serangan sebelumnya.
(WHO, 2006; dalam Ratnasari, 2014)
Secara klinik
gambaran perjalanan stroke ada beberapa macam, pertama defisit neurologiknya
terjadi sangat akut dan maksimal saat munculnya serangan. Hal tersebut sering
terjadi pada stroke oleh karena emboli. Selanjutnya, kedua yang dikenal dengan stroke
in evolution atau progressing stroke adalah bilamana defisit
neurologiknya memburuk secara bertahap yang umumnya dalam ukuran menit sampai
jam sampai defisit neurologik yang maksimal tercapai (complet stroke), bentuk ini biasanya disebabkan karena perkembangan
proses trombosis arterial yang memburuk atau suatu emboli yang rekuren. Stroke
berulang juga didefinisikan sebagai kejadian serebrovaskuler baru yang
mempunyai satu diantara kriteria berikut:
a. Defisit neurologik yang berbeda dengan stroke
pertama.
b. Kejadian yang meliputi daerah anatomi atau daerah
pembuluh darah yang berbeda dengan stroke pertama.
c. Kejadian ini mempunyai sub tipe stroke yang berbeda
dengan stroke pertama.
(Yusuf, 2013)
Menurut Junaidi
(2011), kekambuhan stroke atau terjadinya stroke berulang dipengaruhi oleh tiga
hal penting, yaitu :
a.
Penanggulangan
faktor resiko yang ada dikaitkan dengan kepatuhan penderita dalam mengontrol
atau mengendalikan faktor resiko yang telah ada, seperti menjaga kestabilan
tekanan darah. Seseorang yang tekanan darah yang tidak dikontrol dengan baik
akan meningkatkan resiko terjadinya stroke berulang.
b.
Pemberian
obat-obatan khusus yang bertujuan untuk mencegah terjadinya stroke kedua atau
stroke berulang, seperti penggunaan aspirin yang terbukti mengurangi terjadinya
kejadian stroke berulang hingga 25%.
c.
Genetik, yaitu
seseorang yang mempunyai gen untuk terjadinya stroke berulang.
7.
Faktor Resiko Kejadian Stroke Berulang
Stroke tidak mempunyai penyebab tunggal,
melainkan banyak penyebab yang dapat menyebabkan seseorang mengalami stroke (multifactorial
cause). Berbagai faktor yang terdapat pada seseorang bisa merupakan
penyebab terjadinya stroke pada suatu ketika, hal tersebut mengakibatkan seseorang
yang sudah pernah mengalami stroke kemungkinan dapat terjadi serangan kedua
(stroke berulang) apabila faktor-faktor stroke masih tetap ada dan tidak
dilakukan pengelolaan. Pengelolaan pada pasca stroke agar tidak menjadi stroke
berulang tidaklah mudah, hal ini disebabkan karena berbagai faktor diantaranya
faktor intrinsik (penderitanya yang menyangkut usaha dalam memodifikasi pola
hidup serta faktor ekstrinsik yang meliputi lingkungan dan upaya dokter dalam
membantu mengendalikan faktor resiko (Yusuf, 2013).
Secara garis besar, faktor resiko stroke
dibagi menjadi 2, yaitu faktor tidak dapat diubah atau faktor yang bersifat
menetap dan faktor yang dapat diubah atau faktor tidak menetap. Faktor tidak dapat diubah yang
dimaksud adalah faktor genetik (ras), usia, gender, serta riwayat penyakit yang
dialami oleh orang tua atau saudara sekandung (Lingga, 2013).
a. Faktor
Genetik
Gen
tertentu memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap stroke. Sifat genetik yang
terbawa oleh bangsa berkulit hitam beresiko tinggi terhadap stroke. Resiko yang
hampir sama juga dimiliki oleh gen keturungan Afrika-Amerika (Afro Amerika).
Penyakit-penyakit yang terkait dengan gen resesif yang rawan mereka alami
menjadi faktor kuat yang menyebabkan mereka rentan terhadap stroke (Lingga, 2013).
Orang Asia memiliki kecenderungan
terkena stroke lebih besar dari orang eropa, hal ini ada kaitannya dengan
lingkungan hidup, pola makan dan sosial ekonomi. Makanan asia lebih banyak
mengandung minyak dari pada makanan orang eropa. Menurut data kesehatan di
amerika serikat, penduduk yang berasal dari keturunan afrika-amerika beresiko
terkena serangan stroke 2 kali lebih besar dari penduduk keturunan eropa.
Keadaan ini makin meningkatkan hampir 4 kali lipat pada umur sekitar 50 tahun,
namun pada usia sekitar 65 tahun penduduk amerika yang terkena stroke sama
dengan keturunan afrika-amerika (Wardhana, 2011).
b. Usia
Stroke lebih banyak menyerang pasien dengan golongan umur 51-65 tahun.
Pola penyakit stroke cenderung muncul pertama kali pada umur lebih tua yang
masih produktif (Nastiti, 2012). Hal ini akibat adanya gangguan aliran darah
sebagai bagian dari proses degeneratif, khususnya berkurangnya elastisitas
pembuluh darah yang menyebabkan disfungsi sel endotel yang memicu terjadinya
aterosklerotik. Heart and Stroke Foundation pada tahun 2006 menemukan 1
dari 5 orang yang berumur 50-64 tahun memiliki 2 atau lebih faktor risiko
terkena stroke dan penyakit jantung, seperti: tekanan darah tinggi, diabetes,
merokok, dan obesitas (Heart and Stroke Foundation, 2010). Pengkategorian usia
menurut World Health Organization (WHO) dapat dibagi menjadi selisih
rentang lima tahun, yaitu 35-39 tahun, 40-44 tahun, 45-49 tahun, 50-54 tahun,
55-59 tahun, dan 60-65 tahun (Fadlulloh, 2014).
Pertambahan
usia meningkatkan resiko terhadap stroke. Hal ini disebabkan melemahnya fungsi
tubuh secara menyeluruh terutama terkait dengan fleksibilitas pembuluh darah.
Memasuki usia 50 tahun, resiko stroke menjadi berlipat ganda setiap usia
bertambah 10 tahun. Pada wanita, ketika memasuki masa menopause resiko stroke
meningkat karena estrogen yang semula berperan sebagai pelindung mengalami
penurunan. Itu pula yang menjadi jawaban pertanyaan mengapa stroke lebih banyak
dialami oleh wanita tua daraipada pria tua (Lingga, 2013).
c. Gender
Menurut Nastiti (2012), proporsi pasien stroke dengan jenis kelamin
laki-laki (67%) lebih besar dibandingkan perempuan (37%). Proporsi stroke
hemoragik lebih sedikit dibandingkan stroke iskemik
baik pada laki-laki maupun perempuan. Heart and Stroke Foundation mengungkapkan
lebih banyak wanita Kanada meninggal akibat penyakit jantung dan stroke setiap
tahunnya dibandingkan kanker (Heart and
Stroke Foundation, 2010).
Pria
lebih beresiko terhadap stroke dibandingkan wanita. Kebiasaan merokok yang
lebih banyak dilakukan oleh kaum pria menjadi salah satu pemicu stroke pada
sebagian besar kaum pria. Resiko hipertensi, hiperurisemia, dan
hipertrigliseridemia yang tinggi pada kaum pria juga turut mendongkrak
tingginya resiko stroke pada kaum pria. Meskipun demikian, kaum wanita tidak
bisa begitu saja merasa aman, faktanya angka kematian akibat stroke pada kaum
wanita jauh lebih tinggi dibandingkan yang terjadi pada kaum pria. Semua itu
terjadi karena kerentanan tubuh kaum wanita tua tidak sanggup mengatasi
komplikasi akibat stroke. Faktor lain yang diduga kuat menyebabkan wanita
cenderung mengalami stroke parah karena wanita cenderung mengalami stres dan
depresi (Lingga, 2013).
d. Riwayat
Penyakit Dalam Keluarga
Para
ahli menyatakan adanya gen resesif yang mempengaruhinya. Gen tersebut terkait
dengan penyakit-penyakit yang merupakan faktor resiko pemicu stroke. Penyekit
terkait dengan gen tersebut antara lain diabetes, hipertensi, hiperurisemia,
hiperlipidemia, penyakit jantung koroner, dan kelainan pada pembuluh darah yang
bersifat menurun (Lingga, 2013).
Bilamana kedua orang tua pernah
mengalami stroke maka kemungkinan keturunannya terkena stroke semakin besar.
Riwayat keluarga adanya serangan stroke atau penyakit pembuluh darah iskemik, sering pula didapat terjadi
pada penderita stroke yang muda. Berbagai faktor penyebab termasuk prediposisi
genetik aterosklerosis dapat menerangkan hal ini. Sedangkan anurisma
intracranial sakular, malformasi pembuluh darah, dan angiopati amiloid sering
familial dan ini merupakan penyebab stroke nonaterosklerotik (Poerwadi, 2000
dalam Siswanto, 2005, dalam Yusuf, 2013).
Sebagian insiden stroke terjadi karena
faktor yang sesungguhnya dapat diubah. Dengan kata lain, jika faktor-faktor
tersebut dieliminasi maka resiko stroke berulang dapat dicegah. Faktor-faktor
yang bisa diubah ini terdiri atas hipertensi,
kebiasaan merokok, aktifitas fisik/olahraga, obesitas, minum alkohol, diet dan stres.
Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Hipertensi
Merupakan
faktor resiko utama. Hipertensi dapat disebabkan arteroslerosis pembuluh darah
serebral, sehingga pembuluh darah tersebut mengalami penebalan dan degenerasi
yang kemudian pecah/menimbulkan perdarahan (Wijaya & Putri, 2013).
Hipertensi kronis dan tidak terkendali
akan memacu kekakuan dinding pembuluh darah kecil yang dikenal dengan
mikroangiopati. Hipertensi juga akan memacu munculnya timbunan plak pada
pembuluh darah besar. Timbunan plak akan menyempitkan lumen atau diameter pembuluh
darah. Plak yang tidak stabil akan mudah ruptur atau pecah dan terlepas. Plak
yang terlepas akan meningkatkan resiko tersumbatnya pembuluh darah yang lebih
kecil. Bila ini terjadi maka timbulnya gejala stroke (Pinzon & Asanti,
2010).
Hipertensi mempercepat pengerasan
dinding pembuluh darah arteri dan mengakibatkan penghancuran lemak pada sel
otot polos sehingga mempercepat proses aterosklerosis. Hipertensi berperanan
dalam proses aterosklerosis melalui efek penekanan pada sel endotel atau
lapisan dalam dinding arteri yang berakibat pembentukan plak pembuluh darah
semakin cepat seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya 140/90 mmHg
(Junaidi, 2011).
b. Kebiasaan
Merokok
Merokok
memberikan konstribusi terbentuknya plak pada arteri. Asap rokok mengandung
beberapa zat berbahaya yang sering disebut zat oksidator. Zat oksidator ini
menimbulkan kerusakan dinding arteri dan menjadi tempat penimbunan lemak, sel
trombosit, kolesterol, penyempitan dan pergeseran arteri diseluruh tubuh
termasuk otak, jantung dan tungkai, sehingga merokok dapat memicu terjadinya
aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan darah menggumpal
sehingga beresiko terkena stroke (Pinzon & Asanti, 2010).
Peranan rokok pada aterosklerosis
menurut Junaidi (2011) adalah merokok menurunkan jumlah kolesterol baik dan
menurunkan kemampuan kolesterol baik untuk menyingkirkan kolesterol jahat yang
berlebihan karena sel-sel darah menggumpal pada dinding arteri, ini
meningkatkan resiko pembentukan trombus dan plak. Rokok dapat menyebabkan
peningkatan kecepatan detak jantung serta memicu penyempitan pembuluh darah.
Merokok
merupakan faktor utama pembentukkan aterosklerosis. Pada penelitian Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC),
pada,merokok ditemukan progresivitas yang tinggi pembentukan aterosklerosis.
Orang yang merokok 50% lebih progresif pembentukan aterosklerosis dibandingkan
orang yang tidak merokok. Pada penelitian di Poli Saraf RSUD Gambiran Kediri
tentang hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian stroke tahun 2008, dengan
menggunakan uji Chi Square dijumpai
hasil p= 0,001 dengan tingkat kemaknaan α=0,05, dengan p < α yang berarti
ada hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian stroke (Puspita, 2008, dalam
Sianipar, 2013).
c. Aktifitas Fisik (Olahraga)
Jika
akhir-akhir ini stroke banyak dialami oleh para pekerja kantoran, penyebabnya
antara lain kerena minimnya aktivitas fisik harian dan olahraga yang mereka
lakukan. Padahal, dengan tidak pernah berolahraga rentan terhadap berbagai
macam penyakit termasuk penyakit yang memicu stroke (Lingga, 2013).
Aktifitas fisik dapat dinilai dari
aktifitas ditempat kerjanya maupun kegiatan olahraga. Aktifitas berat
dipengaruhi dari kegiatan yang lebih banyak diluar ruangan dan banyak bergerak
seperti atletik, tentara dan buruh bangunan. Aktifitas ini dilakukan lebih dari
3 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 jam seminggu. Aktifitas sedang
dipengaruhi dari kegiatan yang dilakukan baik didalam ruangan maupun di luar
ruangan, seseorang kurang aktif secara fisik (yang olahraganya kurang dari tiga
kali atau kurang per minggu 30 menit) memiliki hampir 50% resiko terkena stroke
dibanding mereka yang aktif.
Berbagai kemudahan
hidup yang didapat seperti mencuci dengan mesin cuci untuk rumah tangga,
banyaknya kendaraaan bermotor serta kemajuan teknologi membuat aktifitas
seseorang semakin hari semakin ringan atau mudah, namun dampak dari kemajuan
teknologi ini sesorang dapat menjadi pasif dan cenderung menimbulkan masalah
berat badan dan dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi yang nantinya
memicu terjadinya aterosklerosis bila masalah berat badan tidak diimbangi
dengan olahraga yang cukup (Wahyu, 2009).
d. Kegemukan
(Obesitas)
Pada
obesitas kadar kolestrol tinggi. Selain itu dapat mengalami hipertensi karena
terjadi gangguan pada pembuluh darah. Keadaan ini berkontribusi pada stroke
(Wijaya & Putri, 2013).
Obesitas
dapat meningkatkan kejadian stroke terutama bila disertai dengan dislipedemia
dan hipertensi melalui proses aterosklerosis. Obesitas juga dapat menyebabkan
terjadinya stroke lewat efek snoring atau mendengkur dan tiba-tiba henti napas
karena terhentinya suplai oksigen secara mendadak di otak. Obesitas juga
membuat seseorang cenderung mempunyai tekanan darah tinggi, meningkatkan resiko
terjadinya diabetes juga meningkatkan produk sampingan metabolisme yang
berlebihan yaitu oksidan atau radikal bebas (Junaidi, 2011).
e. Kebiasaan
Mengonsumsi Alkohol
Minum
alkohol secara teratur lebih dari 30 gram per hari (pria) atau 15 gram per hari
(wanita), mabuk-mabukan (minum lebih dari 75% gram dalam 24 jam) dan
alkoholisme dapat meningkatkan tekanan darah sehingga dapat meningkatkan resiko
stroke. Minum alkohol dalam jumlah sedikit pun dapat meningkatkan tekanan
darah, oleh karena itu harus dihindari untuk seorang yang memiliki riwayat
hipertensi karena dapat menimbulkan komplikasi berat (Wahyu, 2009).
Martuti
(2009), mengemukakan bahwa mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan
darah secara cepat. Seseorang yang mengkonsumsi alkohol lebih dari 3 gelas atau
lebih setiap hari sudah cukup untuk meningkatkan tekanan darah.
Darah
yang mengandung alkohol dapat merusak jaringan tubuh terutama hati, menyebabkan
trombosis, memicu stress, menyebabkan arteri menjadi tidak lentur, mengganggu
ritme sirkadian tubuh terutama menyebabkan gangguan tidur, menurunkan fungsi
memori, dan meningkatkan kadar gula dan lemak darah. Serentetan kondisi
tersebut sangat beresiko memicu stroke (Lingga, 2013).
f. Diet
Diet dengan tinggi lemak dan kurangnya
buah dan sayur dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke. Asupan makanan yang
mengandung banyak sayur dan buah dapat mengurangi terjadinya stroke. Pemakaian
sodium yang berlebihan juga dapat meningkatkan tekanan darah (Black &
Hawks, 2009).
Menurut Martuti (2009), mengemukakan
bahwa pasien stroke perlu membatasi
asupan garam karena kandungan mineral natrium
(sodium) didalamnya memegang peranan penting terhadap timbulnya hipertensi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa angka kejadian stroke meningkat pada pasien dengan kadar kolesterol diatas
240 mg%. Setiap kenaikan kolesterol 38,7 mg% menaikan angka stroke 25 %
sedangkan kenaikan High Density
Lipoprotein (HDL) 1 mmol (38,7 mg%) menurunkan terjadinya stroke setinggi
47%.
Diet
tinggi serat bermanfaat untuk menghindari kelebihan lemak, lemak jenuh dan
kolesterol. Setiap gram konsumsi serat juga menghindari kelebihan gula dan
natrium serta dapat menurunkan berat badan dan mencegah kegemukan. Dietary
guedelines for American menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang
mengandung serat 20-35 gr perhari.
g. Stres
Ketika seseorang mengalami stres, maka
selanjutnya tubuh meresponnya dengan cara mengeluarkan hormon stres dan
kemudian mengalami gejolak mulekul penghantar pesan (neurotransmiter) terutama
adrenalin dan noradrenalin. Stres merangsang otak mengelurkan hormon
aldosteron, kortisol, vasopresin, adenokortikotropin dan Thyroid Stumulating Hormone (TSH). Sejalan dengan peningkatan
produksi hormone, stres, denyut jantung semakin cepat, pembuluh darah
bervasokontraksi, darah menggumpal, serta terjadi peningkatan kadar gula dan
lemak darah. Kondisi-kondisi buruk tersebut diatas yang beresiko tinggi sebagai
penyebab stroke (Lingga, 2013).
8.
Pemeriksaan
Diagnostik
a. Angiografi
Serebral
Membantu
menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi
arteri, oklusi/rupture.
b. Elektro
Encefalography
Mengindentifikasi
masalah didasarkan pada gelombang otak atau mungkin memperlihatkan daerah lesi
yang spesifik.
c. Sinar
X Tengkorak
Menggambarkan
perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa yang luas,
klasifikasi karotis interna terdapat pada trobus serebral. Klasifikasi parsial
dinding, aneurisma pada perdarahan subarachnoid.
d. Ultrasonography Doppler
Mengidentifikasi
penyakit arteriovena (masalah sitem arteri karotis/aliran darah/muncul
plaque/arterosklerosis).
e. CT-Scan
Memperlihatkan
adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.
f. MRI
Menunjukkan
adanya tekanan abnormal dan biasanya ada trombosis, emboli dan TIA, tekanan
meningkat dan cairan mengandung darah menunjukkan hemoragi subarachnoid/
perdarahan intracranial.
g. Pemeriksaan
Foto Thorax
Dapat
memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang
merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke,
menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah berlawanan dari masa
yang luas.
h. Pemeriksaan
Laboratorium
1)
Fungsi Lumbal : Tekanan normal biasanya
ada trombosis, emboli, TIA. Sedangkan tekanan yang meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid atau intracranial.
Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan proses
inflamasi.
2)
Pemeriksaan darah rutin
3)
Pemeriksaan kimia darah : pada stroke
akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250mg dalam serum
dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
(Wijaya
& Putri, 2013)
9.
Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Smeltzer &
Bare (2002, dalam Yusuf, 2013) meliputi:
1. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi
oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan
oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan
mempertahankan hemoglobin serta hemotokrit pada tingkat dapat diterima akan
membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
2. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah,
curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan
intravena) harus menjamin penurunan vesikositas darah dan memperbaiki aliran
darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu perlu dihindari untuk
mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area
cedera.
3. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark
miokard atau fibrilasi atrium atau dari katup jantung prostetik. Embolisme akan
menurunkan aliran darah keotak dan selanjutnya menurunkan aliran darah
serebral.
10.
Penatalaksaan
a. Demam
Demam
dapat mengeksasebasi cedera otak iskemik
dan harus diobati secara agresif dengan antipiretik (asetaminofen) atau kompres
dingin, jika diperlukan. Penyebab demam tersering adalah pneumonia aspirasi,
lakukan kultur darah dan urine kemudian berikan antibiotik intravena secara empiris
(sulbenisilin, sepalosporin, dll) dan terapi akhir sesuai hasil kultur.
b. Nutrisi
Pasien
stroke memiliki resiko tinggi untuk aspirasi. Bila pasien sadar penuh tes kemampuan menelan dapat dilakukan dengan
memberikan satu sendok air putih kepada pasien
dengan posisi setengah duduk dan kepala fleksi kedepan sampai dagu menyentuh
dada, perhatikan pasien tersedak atau
batuk dan apakah suaranya berubah (negatif).
Bila tes menelan negatif dan pasien
dengan kesadaran menurun, berikan makanan enteral malalui pipa nasoduodenal
ukuran kecil dalam 24 jam pertama setelah onset stroke.
c. Hidrasi
Intravena
Hipovolemia
sering ditemukan dan harus dikoreksi dengan kristaloid isotonis. Cairan
hipotonis (misalnya dektrosa 5% dalam air, larutan NaCl 0,45%) dapat
memperhebat edema serebri dan harus dihindari.
d. Glukosa
Walaupun relevansi klinis dari efek ini
pada manusia belum jelas, tetapi para ahli sepakat bahwa hiperglikemia(kadar
glukosa darah sewaktu >200mg/dl) harus dicegah. Skala luncur (sliding scale)
setiap 6 jam selama 3-5 hari sejak onset stroke.
e. Perawatan
Paru
Fisiotrapi
dada setiap 4 jam harus dilakukan untuk mencegah atelaktsis paru pada pasien yang tidak bergerak.
f. Aktifitas
Pasien
dengan stroke harus diimobilisasi dan harus dilakukan fisioterapi sedini
mungkin bila kondisi klinis neurologis dan hemodinamik stabil. Untuk
fisioterapi pasif pada pasien yang
belum bergerak, perubahan posisi badan dan ekstramitas setiap 2 jam untuk
mencegah dikubitus, latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif 4 kali
sehari untuk mencegah kontraktur. Splin tumit untuk mempertahankan kaki dalam
dorsofleksi dan dapat juga mencegah pemendekan tendon Achilles. Posisi kepala
30m derajat dari bidang horisontal untuk menjamin aliran darah yang adekuat ke
otak dan aliran balik vena ke jantung, kecuali pada pasien hipotensi (posisi datar), pasien dengan muntah-muntah (dekubitus lateral kiri), pasien dengan gangguan jalan nafas
(posisi kepala ekstensi). Bila kondisi memungkinkan, maka pasien harus diimobilisasi aktif ke posisi tegak, duduk dan pindah
ke kursi sesuai toleransi hemodinamik dan neurologist.
g. Neurorestorasi
Dini
Stimulus
sensorik, kognitif, memori, bahasa, emosi serta otak yang terganggu. Depresi
dan amnesia juga harus dikenali dan diobati sedini mungkin.
h. Profilaksi
Trombosis Vena Dalam
Pasien
stroke iskemik dengan imobilisasi
lama yang tidak dalam pengobatan heparin intravena harus diobati dengan heparin
5.000 unit atau fraksiparin 0,3cc setiap 12 jam selama 5-10 hari untuk mencegah
pembentukan thrombus dalam vena profunda, karena insidennya sangat tinggi.
Terapi ini juga dapat diberikan dengan pasien
perdarahan intraserebral setelah 72 jam sejak onset.
i.
Perawatan Vesika
Kateter
urine menetap (kateter foley), sebaiknya hanya dipakai hanya ada pertimbangan
khusus (kesadaran menurun, dimensia, afasia global). Pada pasien yang sadar dengan gangguan berkemih, kateterisasi intermiten
secara steril setiap 6 jam lebih disukai untuk mencegah kemungkinan infeksi,
pembentukan batu, dan gangguan sfingter vesika urine atau pasien wanita dengan inkontinensia atau retensio urine.
(Rendy
& Margareth, 2012)
11.
Upaya
Pencegahan
a. Mengurangi
kegemukan
b. Berhenti
merokok
c. Berhenti
minum kopi
d. Batasi
makan garam/lemak
e. Tingkatkan
masukan kalium
f. Rajin
berolahraga
g. Mengubah
gaya hidup
h. Menghindari
obat-obat yang dapat meningkatkan tekanan darah.
B.
Kerangka
Pikir Penelitian
Berdasarkan teori-teori yang telah
diuraikan diatas, maka dapat disusun kerangka pikir dalam penelitian ini
sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Pikir
Penelitian Tentang Konsep Kejadian Stroke Berulang
Yang
Tidak Dapat Diubah :
1.
Faktor Genetik
2.
Usia
3.
Gender
4.
Riwayat Penyakit
Dalam Keluarga
|
STROKE
|
Stroke Berulang
|
Yang
Dapat Diubah :
1.
Kebiasaan
Merokok
2.
Aktifitas
Fisik/Olahraga
3.
Kegemukan
(Obesitas)
4.
Kebiasaan
Mengonsumsi Alkohol
5.
Diet
6.
Stres
|
Faktor
Resiko
|
(Sumber: modefikasi
Husni & Laksmawati, 2001. Lumantobing, 2002. Smeltzer & Bare, 2002.
Black & Hawks, 2009. Wahyu, 2009. Pinzon & Asanti, 2010. Junaidi, 2011.
Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia, 2007. Wardhana, 2011. Yusuf, 2013)
BAB III
METODE
PENELITIAN
A.
Variabel Bebas (Independent)
|
Faktor-faktor yang
mempengaruhi stroke berulang:
1.
Kebiasaan
Merokok
2.
Aktifitas
Fisik/Olahraga
3.
Kegemukan
(Obesitas)
4.
Kebiasaan
Mengonsumsi alkohol
5.
Diet
6.
Stres
|
Variabel Terikat (Dependent)
|
Stroke
Berulang
|
Variabel Confounding
1.
Peningkatan
TD
2.
Usia
3.
Jenis
kelamin
4.
Riwayat
penyakit keluarga
|
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan:
:
Variabel yang diteliti
:
Variabel yang tidak diteliti
B.
Variabel Penelitian
Variabel penelitian
mendeskripsikan topik/tema yang diteliti karena sudah terlihat pada saat
peneliti menyusun latar belakang penelitian (Budiman, 2011).
1.
Variabel
Independen
Variabel independen merupakan suatu
variabel penelitian yang tidak ketergantungan kepada variabel lainnya atau bisa
disebut juga variabel bebas (Budiman, 2011). Pada penelitian ini variabel
independennya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi stroke berulang.
2.
Variabel
Dependen
Variabel dependen merupakan suatu
variabel penelitian yang ketergantungan kepada variabel penelitian lainnya atau
bisa disebut juga variabel terikat (Budiman, 2011). Pada penelitian ini
variabel dependennya adalah stroke berulang.
3.
Variabel Confounding
Variabel Perancu adalah jenis variabel
yang berhubungan dengan variabel independen dan variabel dependen, tetapi bukan
merupakan variabel mediator/perantara (Budiman, 2011). Pada penelitian ini
variabel perancunya adalah peningkatan TD, usia, jenis kelamin dan riwayat
penyakit keluarga.
C.
Definisi Operasional
1.
Stroke berulang adalah stroke yang
terjadi atau muncul setelah serangan stroke yang pertama kali terjadi pada pasien
di RSU Jayapura. Diukur dengan menggunakan skala nominal.
2. Kebiasaan
merokok adalah pasien yang berkunjung di RSU Jayapura dan memiliki kebiasaan menghisap
asap dari gulungan tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan dihembuskan kembali
ke luar. Diukur menggunakan skala nominal.
3.
Aktifitas fisik (olahraga) adalah kegiatan
fisik yang dilakukan oleh pasien stroke dengan kunjungan berulang di RSU Jayapura
termasuk kegiatan sehari-hari atau kepatuhan melakukan latihan fisik. Diukur
dengan menggunakan skala nominal.
4.
Kegemukan (obesitas) adalah kondisi
berat badan pasien stroke dengan kunjungan berulang di RSU Jayapura melebihi
berat badan ideal. Data diukur menggunakan rumus IMT, dengan skala rasio.
5.
Kebiasanan mengonsumsi alkohol adalah
kebiasaan pasien dengan stroke berulang meminum minuman yang mengandung
alkohol. Diukur dengan menggunakan skala nominal.
6.
Diet adalah pengurangan jumlah makanan
atau mengurangi asupan nutrisi tertentu karena pantangan dari penyakit yang
diderita, misalnya penderita stroke dianjurkan diet tinggi serat dan banyak
mengonsumsi sayur dan buah-buahan. Diukur dengan menggunakan skala nominal.
7. Stres
adalah gangguan psikis yang dialami seseorang penderita stroke berulang
terhadap apa yang terjadi dengan dirinya saat ini. Diukur dengan mengguanakan
skala nominal.
D.
Hipotesis
1.
Terdapat
pengaruh faktor kebiasaan merokok terhadap stroke berulang pada pasien stroke
di RSU Jayapura.
2.
Terdapat
pengaruh faktor aktifitas fisik/olahraga terhadap stroke berulang pada pasien
stroke di RSU Jayapura.
3.
Terdapat
pengaruh faktor obesitas terhadap stroke berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
4.
Terdapat
pengaruh faktor minum alkohol terhadap stroke berulang pada pasien stroke di RSU
Jayapura.
5.
Terdapat
pengaruh faktor diet terhadap stroke berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
6.
Terdapat pengaruh
faktor stres terhadap stroke berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
7.
Terdapat
pengaruh faktor-faktor yang paling mempengaruhi kejadian kunjungan berulang
secara simultan di RSU Jayapura.
E.
Desain Penelitian
Jenis penelitian ini
adalah penelitian kuantitatif dengan desain analisis deskriptif, dan
menggunakan pendekatan cross sectional.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi
tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan. Desain penelitian cross sectional study adalah suatu
rancangan penelitian observasional yang dilakukan untuk mengetahui hubungan
variabel independen dengan variabel dependen dimana pengukurannya dilakukan
pada satu saat (Budiman, 2011).
F.
Populasi, Sampel, dan Sampling Penelitian
1.
Populasi
Populasi adalah
keseluruhan obyek penelitian (Suyanto, 2011). Populasi dalam penelitian adalah pasien
stroke yang datang berkunjung di ruang poliklinik saraf RSU Jayapura. Jumlah pasien
stroke yang sedang menjalani rawat jalan di RSU Jayapura pada bulan Februari
2015 berjumlah 51 pasien.
2.
Sampel
Sampel
penelitian adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi (Setiadi, 2007). Pada penelitian ini menentukan besar
sampel dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:
Keterangan:
n
= besar sampel
N = Besar
populasi
d2 =
Tingkat kepercayaan (0,1) (Setiadi, 2007).
Pada penelitian
ini diketahui bahwa jumlah pasien sebanyak 51 pasien. Sehingga jumlah sampel
yang akan diambil adalah:
dibulatkan 34 sampel
Jadi
sampel yang diambil sebesar 34 sampel.
Untuk menentukan layak
tidaknya sampel yang mewakili populasi untuk diteliti, ditentukan berdasarkan kriteria
sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
1) Pasien stroke yang mengalami kejadian berulang.
2) Bersedia menjadi responden.
3) Pasien sadar.
b. Kriteria Eksklusi
1) Pasien baru dengan stroke yang pertama kali.
2)
Tidak bersedia
menjadi responden.
3.
Teknik Sampling
Kriteria pengembalian sampel menggunakan
Purposive Sampling yaitu teknik
penentuan sampel dengan pertimbanagn tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti
(Setiadi, 2007).
G.
Tempat dan Waktu Penelitian
1.
Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di ruang penyakit
saraf dan poliklinik saraf RSU Jayapura.
2.
Waktu Penelitian
Penelitian ini telah berlangsung pada periode bulan April-Mei
2016.
H.
Alat
Pengumpulan Data
Alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kuisoner. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri atas 2 kuesioner yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik
responden dan faktor-faktor yang mempengaruhi stroke berulang. Adapun kedua
kuesioner tersebut, yaitu:
a. Kuesioner
pertama berisikan tentang karakteristik
Kuesioner
pertama diisi oleh pasien, untuk mengetahui karakteristik pasien terdiri dari
nama inisial, umur, berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, kejadian stroke,
dan riwayat penyakit keluarga. Pertanyaan menggunakan pertanyaan tertutup
dimana responden memberi tanda ceklist (P) pada jawaban yang sesuai dengan kondisi. Kuesioner
ini terdiri dari 7 item (nomor 1- 7) yang dibuat oleh peneliti. Data yang
didapat merupakan data primer.
b. Kuesioner kedua : faktor-faktor yang mempengaruhi
stroke berulang
Kuesioner kedua mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi stroke berulang. Pengisian pertanyaan faktor-faktor yang
mempengaruhi stroke berulang dengan member tanda ceklist
(P).Kuesioner ini terdiri dari 25 item (nomor 8- 32)
yang dibuat oleh peneliti. Data yang didapat merupakan data primer.
Nilai atau skor
untuk setiap faktor-faktor yang mempengaruhi stroke berulang kebiasaan merokok,
aktifitas fisik, kebiasaan mengonsumsi alkohol, kegemukan (obesitas), diet, dan
stres adalah skor 1 untuk positif
melakukan dan 0 untuk tidak melakukan. Dengan kriteria objektif :
a.
Jika jawaban
responden secara yakin menjawab ya pada setiap bagian pertanyaan pada
masing-masing faktor risiko, maka dapat disimpulkan bahwa responden merokok,
melakukan aktifitas fisik, konsumsi alkohol, diet, dan stres.
b.
Sebaliknya jika
secara yakin salah satu jawaban responden tidak pada setiap bagian
masing-masing faktor, maka dapat disimpulkan bahwa responden tidak merokok,
tidak melakukan aktifitas fisik, tidak konsumsi alkohol, tidak diet, dan tidak
stres.
Kuesioner faktor-faktor
yang mepengaruhi stroke berulang tersebut telah diuji validitas dan
reliabilitas menggunakan program komputerisasi oleh peneliti dengan angka Alpha cronbach’s sebesar 0,831. Nilai
tersebut sudah sesuai kriteria karena lebih besar dari 0,632 (nilai standart n=10, α=5%), maka data hasil
angket memiliki tingkat reliabilitas yang baik, atau dengan kata lain data
hasil angket dapat dipercaya.
I.
Pengolahan
dan Analisa Data
1.
Pengolahan
Data
Setelah
data terkumpul maka dilakukan pengolahan data antara lain:
a. Editing data
Tahap
ini untuk meneliti kelengkapan dan kekonsistenan jawaban dari setiap kuisoner
yang telah diisi oleh responden. Caranya dengan memeriksa kelengkapan jawaban,
keterbacaan tulisan dan relevansi
jawaban.
b. Coding data
Data
kuisoner diberi kode pada kolom yang telah disediakan setiap item pertanyaan
untuk memudahkan dalam pengolahan data.
c. Entry data
Jawaban-jawaban
yang sudah diberi kode kategori kemudian dimasukkan dalam table dengan cara
menghitung dan memasukkan data melalui pengolahan koputerisasi.
d. Cleaning data
Data
yang telah di entry diperiksa kebenarannya dengan cara melihat missing data,
dan yang salah, data yang tidak konsisten untuk menghindari kesalahan analisis.
e. Mengeluarkan
informasi
Disesuaikan
dengan tujuan penelitian yang dilakukan.
2.
Analisa
Data
a. Analisis
univariat
Analisis
univariat digunakan untuk mengetahui gambaran karakteristik responden, dengan
menyajikan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti.
b. Analisis
bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk
menganalisa hubungan dua variabel yang saling mempengaruhi antara variabel satu
dengan variabel lain. Dalam penelitian ini tingkat signifikan ekpektasi nilai
>20% dan p<5 sehingga tidak bisa menggunakan uji Chi-Square, tetapi pada uji sebaran data atau normalitas data
didapatkan data normal, maka menggunakan uji Pearson pada masing-masing faktor risiko.
Ketentuan :
H0 diterima bila p-value
<0,05, dan H1 ditolak
H0
ditolak bila p-value ≥0,05, dan H1 diterima
c. Analisa
Multivariat
Analisa multivariate dengan regresi
ganda logistik terhadap variabel yang memenuhi syarat pada analisis bivariat (p<0,25
pada analisis bivariat) untuk mengetahui pengaruh variabel terhadap kejadian
stroke berulang. Dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
P = Peluang terjadinya efek
e = Bilangan natural
a = Konstanta
b1
sampai b3 = Koefisien regresi
J.
Etika
Dalam Penelitian
Sebelum penelitian ini dilakukan,
peneliti mengajukan surat permohonan kepada Kepala RSU Jayapura serta Kepala
ruangan polik saraf sebagai tempat penelitian yang akan dilakukan untuk
mendapatkan ijin penelitian. Setelah mendapatkan ijin, peneliti memberikan
kuesioner kepada responden untuk diisi. Dengan menekankan pada masalah etika
meliputi:
a. Lembar
Persetujuan Penelitian (Informed Concent)
Lembar
persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan
maksud dari penelitian serta dampak yang mungkin akan terjadi selama dan
sesudah pengumpulan data. Jika responden bersedia, maka responden menandatangi surat
persetujuan penelitian untuk menjadi responden. Tetapi jika responden tidak
bersedian menjadi responden, maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati
hak responden.
b. Tanpa
Nama (Anonimity)
Untuk
menjaga kerahasiaan subyek maka dalam lembar pengumpulan data penelitian tidak
mencamtumkan nama responden, tetapi memberikan inisial atau kode tertentu.
c. Kerahasiaan
(Confidentiality)
Peneliti
menjamin kerahasiaan informasi yang telah diberikan responden kepada peneliti
dalam proses penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
1.
Gambaran umum RSU Jayapura
Rumah Sakit Umum (RSU) Jayapura
merupakan milik pemerintah Provinsi Papua dengan luas tanah 361.262 m2 dan
luas bangunan 16.000 m2. RSU Jayapura berlokasi di Jln. Kesehatan
No. 01 Jayapura, Kelurahan Bhayangkara Dok II Jayapura Utara, Papua. Sarana
fisik rumah sakit terdiri dari instalasi gawat darurat, instalasi rawat jalan,
rawat inap, perawatan intensif, bedah sentral, radiologi diagnostik,
laboratorium patologi klinik, laboratorium patologi anatomi, unit hemodialisa,
instalasi rehabilitasi medic, instalasi gizi, instalasi farmasi, instalasi
sanitasi, instalasi CSSD, instalasi laundry, instalasi rekam medik dan gedung
kamar mayat.
Polik
saraf merupakan salah satu bagian dari instalasi rawat jalan yang ada di RSU Jayapura
dan merupakan tempat pelayanan kesehatan kepada pasien dengan gangguan saraf
yang menjalani rawat jalan. Ruang polik saraf menjadi satu dengan polik
psikiatri, sehingga jumlah tenaga kesehatan
di polik ini terdiri dari satu kepala SMF yang merangkap menjadi salah
satu Dokter spesialis saraf, satu kepala perawat polik saraf, dua Dokter
spesialis saraf, satu Dokter spesialis jiwa dan satu perawat. Ruangan terbagi
menjadi 4 yaitu ruang registrasi, ruang kepala perawatan polik saraf, ruang
pemeriksaan spesialis saraf, dan ruang pemeriksaan spesialis jiwa.
2.
Karakteristik responden
Tabel 4.1 Analisis
Distribusi Frekuensi Pasien Stroke Dengan Kejadian Berulang Di RSU Jayapura, Mei
2016 (n=34)
Variabel
|
Frekuensi
|
Presentase (%)
|
Usia
|
|
|
≤49 Tahun
|
9
|
26,5
|
50-59 Tahun
|
15
|
44,1
|
60-69 Tahun
|
9
|
26,5
|
≥70 Tahun
|
1
|
2,9
|
Jenis
Kelamin
|
|
|
Pria
|
21
|
61,8
|
Wanita
|
13
|
38,2
|
Riwayat
Penyakit Keluarga
|
|
|
Tidak Ada
|
27
|
79,4
|
Ada
|
7
|
20,6
|
Tekanan
Darah
|
|
|
Normal
|
19
|
55,9
|
Tinggi
|
15
|
44,1
|
Stroke
Ke-
|
|
|
Kedua
|
27
|
79,4
|
Ketiga
|
7
|
20,6
|
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa
karakteristik responden lebih banyak berusia 50-59 tahun, yaitu 44,1% (15 orang), terdapat 26,5% (9 orang)
masing-masing berusia ≤49 tahun dan 60-69 tahun dan 2,9% (1 0rang) yang berusia
≥70 tahun. Selanjutnya, terdapat 61,8%
(21 orang) berjenis kelamin laki-laki dan 38,2% (13 orang) berjenis kelamin
perempuan. Terdapat 79,4% (27 orang) tidak memiliki riwayat penyakit keluarga
dan 20,6% (7 orang) memiliki riwayat penyakit keluarga. Terdapat 55,9% (19
orang) memiliki tekanan darah normal dan 44,1% (15 orang) memiliki tekanan
darah tinggi. Terdapat 79,4% (27%) dengan kejadian stroke kedua kali dan 20,6%
(7 orang) dengan kejadian stroke ketiga kali.
3.
Analisis deskriptif faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian stroke berulang pada pasien stroke Di RSU Jayapura
Tabel 4.2 Analisis
Distribusi Frekuensi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Berulang Pada Pasien
Stroke Di RSU Jayapura, Mei 2016
Variabel
|
Frekuensi
|
Presentase
(%)
|
Kebiasaan Merokok
|
|
|
Tidak
Merokok
|
21
|
61,8
|
Merokok
|
13
|
38,2
|
Aktifitas Fisik
|
|
|
Kurang
|
5
|
14,7
|
Baik
|
29
|
85,3
|
Kegemukan
|
|
|
Normal
|
6
|
17,6
|
Kegemukan
|
28
|
82,4
|
Kebiasaan Konsumsi Alkohol
|
|
|
Tidak
Konsumsi
|
30
|
88,2
|
Konsumsi
|
4
|
11,8
|
Diet
|
|
|
Tidak
Diet
|
16
|
47,1
|
Diet
|
18
|
52,9
|
Stres
|
|
|
Tidak
Stres
|
12
|
35,3
|
Stres
|
22
|
64,7
|
Sumber : Data primer 2016
Berdasarkan tabel 4.2, menunjukkan bahwa
berdasarkan faktor kebiasaan merokok terdapat 61,8% (21 orang) memiliki
kebiasaan merokok dan 38,2% (13 orang) tidak memiliki kebiasaan merokok. Selanjutnya,
terdapat 85,3% (29 orang) memiliki aktifitas fisik baik dan 14,7% (5 orang)
memiliki aktifitas fisik kurang. Terdapat 17,6% (6 orang) memiliki berat badan
ideal atau batas normal dan 82,4% (28 orang) memiliki berat badan melebihi
batas normal. Terdapat 11,8% (4 orang) memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol
dan 88,2% (88,2 orang) tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Terdapat 52,9%
(18 orang) menjalani diet yang dianjurkan dokter dan 47,1% (16 orang) tidak
menjalani diet. Terdapat 64,7% (22 orang) mengalami stres dan 35,3% (12 orang)
tidak mengalami stres.
4.
Analisis pengaruh kebiasaan merokok terhadap kejadian
berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.3 Pengaruh Faktor
Kebiasaan Merokok Terhadap Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura,
Mei 2016 (n=34)
Variabel
|
Kejadian
Stroke
|
|
|
|
|||
Serangan
Kedua
|
Serangan
Ketiga
|
Total
|
p-value
|
||||
N
|
%
|
N
|
%
|
n
|
%
|
|
|
Kebiasaan
merokok
|
|
|
|
|
|
|
0,261
|
Tidak
Merokok
|
18
|
52,9
|
3
|
8,8
|
21
|
61,8
|
|
Merokok
|
9
|
26,5
|
4
|
11,8
|
13
|
38,2
|
|
Total
|
27
|
79,4
|
7
|
20,6
|
34
|
100
|
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan
tabel 4.3, menunjukkan bahwa terdapat 52,9% responden bukan perokok namun
mengalami stroke berulang dengan serangan stroke kedua kali. Selanjutnya,
terdapat 11,8% responden mengalami kejadian stroke berulang serangan ketiga dan
sekaligus seorang perokok.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p-value
= 0,261. Hal ini berarti bahwa H1>0,05. Dengan demikian, faktor
kebiasaan merokok tidak memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian
stroke berulang pada pasien di RSU Jayapura.
5.
Analisis pengaruh aktifitas fisik terhadap kejadian
berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.4 Pengaruh
Faktor Aktifitas Fisik Terhadap Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura,
Mei 2014 (n=35)
Variabel
|
Kejadian
Stroke
|
|
|
|
|||
Serangan
Kedua
|
Serangan
Ketiga
|
Total
|
p-value
|
||||
N
|
%
|
N
|
%
|
n
|
%
|
|
|
Aktifitas
fisik
|
|
|
|
|
|
|
0,258
|
Baik
|
24
|
70,6
|
5
|
14,7
|
29
|
85,3
|
|
Kurang
|
3
|
8,8
|
2
|
5,9
|
5
|
14,7
|
|
Total
|
27
|
79,4
|
7
|
20,6
|
34
|
100
|
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan
tabel 4.4, menunjukkan bahwa terdapat 70,6% responden dengan aktifitas fisik
yang baik namun mengalami stroke berulang dengan serangan stroke kedua kali.
Selanjutnya, terdapat 5,9% responden mengalami kejadian stroke berulang
serangan ketiga dengan aktifitas fisik yang kurang.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p-value
= 0,258. Hal ini berarti bahwa H1>0,05. Dengan demikian, faktor
aktifitas fisik tidak memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian
stroke berulang pada pasien di RSU Jayapura.
6.
Analisis pengaruh obesitas terhadap kejadian
berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.5 Pengaruh
Faktor Obesitas Terhadap Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura, Mei
2016 (n=34)
Variabel
|
Kejadian
Stroke
|
|
|
|
|||
Serangan
Kedua
|
Serangan
Ketiga
|
Total
|
p-value
|
||||
n
|
%
|
N
|
%
|
n
|
%
|
|
|
Kegemukan
|
|
|
|
|
|
|
0,180
|
Normal
|
6
|
17,6
|
0
|
0
|
6
|
17,6
|
|
Kegemukan
|
21
|
61,8
|
7
|
20,6
|
28
|
82,4
|
|
Total
|
27
|
79,4
|
7
|
20,6
|
34
|
100
|
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan
tabel 4.5, menunjukkan bahwa terdapat 61,8% responden dengan berat badan yang
melebihi batas normal berat badan ideal yang mengalami stroke berulang dengan
serangan stroke kedua kali. Selanjutnya, terdapat 20,6% responden mengalami
kejadian stroke berulang serangan ketiga dan juga memiliki berat badan melebihi
berat normal.
Hasil uji
statistik Chi Square menunjukkan
bahwa p-value = 0,180. Hal ini
berarti bahwa H1>0,05. Dengan demikian, faktor kegemukan tidak
memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian stroke berulang pada
pasien di RSU Jayapura.
7.
Analisis pengaruh kebiasaan konsumsi alkohol terhadap
kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.6
Pengaruh Faktor Kebiasaan Konsumsi Alkohol Dengan Kejadian Berulang Pada Pasien
Stroke Di RSU Jayapura, Mei 2016 (n=34)
Variabel
|
Kejadian
Stroke
|
|
|
|
|||
Serangan
Kedua
|
Serangan
Ketiga
|
Total
|
p-value
|
||||
N
|
%
|
N
|
%
|
N
|
%
|
|
|
Kebiasaan konsumsi
alkohol
|
|
|
|
|
|
|
0,823
|
Tidak
Konsumsi
|
24
|
70,6
|
6
|
17,6
|
30
|
88,2
|
|
Konsumsi
|
3
|
8,8
|
1
|
2,9
|
4
|
11,8
|
|
Total
|
27
|
79,4
|
7
|
20,6
|
34
|
100
|
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan
tabel 4.6, menunjukkan bahwa terdapat 70,6% responden tidak memiliki kebiasaan
mengkonsumsi alkohol namun mengalami stroke berulang dengan serangan stroke
kedua kali. Selanjutnya, terdapat 2,9% responden mengalami kejadian stroke
berulang serangan ketiga dan sekaligus memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol.
Hasil uji
statistik Chi Square menunjukkan
bahwa p-value = 0,823. Hal ini
berarti bahwa H1>0,05. Dengan demikian, faktor kebiasaan konsumsi
alkohol tidak memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian stroke
berulang pada pasien di RSU Jayapura.
8.
Analisis pengaruh diet terhadap kejadian berulang pada
pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.7
Pengaruh Faktor Diet Terhadap Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura,
Mei 2016 (n=34)
Variabel
|
Kejadian
Stroke
|
|
|
|
|||
Serangan
Kedua
|
Serangan
Ketiga
|
Total
|
p-value
|
||||
N
|
%
|
N
|
%
|
n
|
%
|
|
|
Diet
|
|
|
|
|
|
|
0,810
|
Tidak
Diet
|
13
|
38,2
|
3
|
8,8
|
16
|
47,1
|
|
Diet
|
14
|
41,2
|
4
|
11,8
|
18
|
52,9
|
|
Total
|
27
|
79,4
|
7
|
20,6
|
34
|
100
|
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan
tabel 4.7, menunjukkan bahwa terdapat 41,2% responden melakukan diet yang
dianjurkan oleh dokter namun mengalami stroke berulang dengan serangan stroke
kedua kali. Selanjutnya, terdapat 8,8% responden mengalami kejadian stroke
berulang serangan ketiga dan sekaligus tidak melakukan diet yang sudah
dianjurkan oleh dokter.
Hasil uji
statistik Chi Square menunjukkan
bahwa p-value = 0,810. Hal ini
berarti bahwa H1>0,05. Dengan demikian, faktor diet tidak
memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian stroke berulang pada
pasien di RSU Jayapura.
9.
Analisis pengaruh stres terhadap kejadian berulang pada
pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.8 Hubungan
Faktor Stres Dengan Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura, Mei 2016
(n=34)
Variabel
|
Kejadian
Stroke
|
|
|
|
|
|||
Serangan
Kedua
|
Serangan
Ketiga
|
Total
|
p-value
|
OR
|
||||
N
|
%
|
N
|
%
|
n
|
%
|
|
|
|
Stres
|
|
|
|
|
|
|
0,028
|
7,539
|
Tidak
Stres
|
12
|
35,3
|
0
|
0
|
12
|
35,3
|
||
Stres
|
15
|
44,1
|
7
|
20,6
|
22
|
64,7
|
||
Total
|
27
|
79,4
|
7
|
20,6
|
34
|
100
|
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan
tabel 4.8, menunjukkan bahwa terdapat 44,1% responden mengalami stres dan juga
mengalami stroke berulang dengan serangan stroke kedua kali. Selanjutnya,
terdapat 20,6% responden mengalami kejadian stroke berulang serangan ketiga dan
sekaligus mengalami stres.
Hasil uji
statistik Chi Square menunjukkan
bahwa p-value = 0,028. Hal ini
berarti bahwa H1<0,05. Dengan demikian, faktor stres memiliki
pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian stroke berulang pada pasien di RSU Jayapura.
Terlihat juga dari nilai OR = 7,539, hal ini menunjukkan bahwa faktor risiko
stres mempunyai peluang 7,539 kali menyebabkan stroke berulang.
10.
Pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
berulang secara simultan di RSU Jayapura
Pengaruh
kebiasaan merokok (X1), aktifitas fisik (X2), kegemukan
(X3), kebiasaan konsumsi alkohol (X4), diet (X5),
dan stres (X6) secara simultan terhadap kejadian stroke berulang di
Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura ditunjukkan pada tabel 4.9.
Tabel 4.9 Pengaruh Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian Berulang Secara Simultan Di RSU Jayapura, Mei 2016 (n=34)
Model
|
R
Square
|
Std. Error of the Estimate
|
p-value
|
1
|
0,351
|
0,366
|
0,052
|
Sumber
: Data Primer 2016
Pengaruh
kebiasaan merokok (X1), aktifitas fisik (X2), kegemukan
(X3), kebiasaan konsumsi alkohol (X4), diet (X5),
dan stres (X6) secara simultan terhadap kejadian stroke berulang di RSU
Jayapura secara statistik tidak berbeda secara bermakna (p-value = 0,052). Nilai R Square yang telah disesuaikan sebesar
0,351. Hal ini berarti bahwa hanya 35,1% variabel dependen (kejadian stroke
berulang) dapat dijelaskan oleh variabel independennya (kebiasaan merokok (X1),
aktifitas fisik (X2), kegemukan (X3), kebiasaan konsumsi
alkohol (X4), diet (X5), dan stres (X6)).
Sisanya sebesar 64,9% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diikutsertakan
dalam model penelitian ini.
B.
Pembahasan
1.
Pengaruh kebiasaan merokok terhadap kejadian
berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Hasil penelitian saat ini menunjukkan
bahwa terdapat 61,8% pasien stroke berulang tidak merokok, yang artinya bahwa kejadian
stroke berulang pada penderita stroke yang merokok tidak berbeda dengan orang
yang tidak merokok. Hal ini dapat dilihat juga pada penelitian yang dilakukan
Siswanto (2005) menunjukkan terdapat 54% pasien dengan stroke berulang tapi
tidak merokok.
Namun, masih terdapat sebesar 8,8%
pasien dengan stroke berulang yang ke-3 dengan kebiasaan merokok, yang artinya
bahwa ada sekitar 3 pasien stroke dengan kejadian berulang yang masih merokok meskipun
sudah berulang kali mengalami stroke. Hal ini pun dapat dilihat pada penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Siswanto (2005) menunjukkan terdapat 46% pasien
dengan riwayat stroke berulang yang masih merokok.
Semua hal diatas diperkuat juga dengan
hasil uji statistik yang dilakukan pada penelitian saat ini yang menunjukkan p-value =0,261, yang berarti tidak ada
pengaruh secara bermakna antara kebiasaan merokok terhadap kejadian stroke
berulang.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena
seseorang yang sudah terkena stroke atau mempunyai faktor risiko stroke
biasanya akan mengurangi konsumsi rokok bahkan menghentikannya. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Tugasworo (2002), bahwa pada perokok risiko stroke akan
bertambah sekitar 2-3 kali dibandingkan bukan perokok dan baru hilang setelah
berhenti merokok selama 5 hingga 10 tahun.
Merokok
memberikan konstribusi terbentuknya plak pada arteri. Asap rokok mengandung
beberapa zat berbahaya yang sering disebut zat oksidator. Zat oksidator ini
menimbulkan kerusakan dinding arteri dan menjadi tempat penimbunan lemak, sel
trombosit, kolesterol, penyempitan dan pergeseran arteri diseluruh tubuh
termasuk otak, jantung dan tungkai, sehingga merokok dapat memicu terjadinya
aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan darah menggumpal
sehingga beresiko terkena stroke.
2.
Pengaruh aktifitas fisik terhadap kejadian berulang
pada pasien stroke di RSU Jayapura
Menurut hasil penelitian tentang aktivitas
fisik yang dilakukan oleh pesien stroke berulang terdapat sebesar 70,6% pasien
stroke berulang dengan aktifitas fisik baik. Hal ini berarti bahwa sebagian
besar pasien dengan kejadian stroke berulang memiliki aktifitas fisik yang
baik, meskipun aktifitas yang mereka lakukan sangat ringan tetapi dilakukan
secara rutin. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Siswanto (2005)
terdapat 18% pasien dengan kejadian stroke berulang yang memiliki aktifitas
fisik kurang atau tidak pernah melakukan aktifitas fisik yang telah dianjurkan
dokter.
Namun, terdapat sebesar 5,9% pasien
dengan kejadian stroke berulang ke-3 yang masih tidak sadar akan pentingnya
aktifitas fisik bagi kemajuan penyakit yang dideritanya, sehingga tidak
melakukan aktifitas fisik yang dianjurkan oleh dokter. Hal ini pun dapat
dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2013) menunjukkan ada 52,5%
pasien dengan riwayat stroke berulang yang tidak melakukan aktifitas fisik yang
dianjurkan oleh dokter secara rutin dan teratur.
Dari hasil uji statistik pada penelitian
saat ini mendapatkan p-value sebesar
0,258, selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siswanto (2005)
menunjukan nilai p-value = 0,34 yang
artinya bahwa tidak ada pengaruh secara bermakna antara aktifitas fisik
terhadap kejadian stroke berulang.
Tidak terdapatnya hubungan antara aktivitas
fisik dengan kejadian stroke berulang menurut pernyataan Siswanto (2005)
menyatakan tidak adanya pengaruh aktivitas fisik terhadap kejadian stroke
berulang mungkin disebabkan karena penderita stroke biasanya menyandang
disabilitas akibat gangguan neurologi yang menetap sehingga aktifitas fisik
yang mereka lakukan sangat ringan bahkan tidak bisa melakukannya.
Di samping itu
karena ketidaktahuan mereka tentang pentingnya aktifitas fisik yang teratur
terhadap kesehatan dan juga kebosanan karena untuk pemulihan diperlukan waktu
yang cukup lama. Sehingga mereka melakukan aktivitas fisik secara rutin sesaat
atau sementara setelah terjadinya serangan, setelah merasakan lebih baik
kebanyakan para penderita ini tidak mau melakukan aktifitas fisik termasuk terapi
secara rutin.
3.
Pengaruh obesitas terhadap kejadian berulang pada
pasien stroke di RSU Jayapura
Hasil penelitian saat ini menunjukkan
bahwa terdapat 82,4% pasien stroke berulang dan memiliki berat badan melebihi
berat badan ideal. Hal ini berarti bila dilihat dari persentasenya seharusnya
faktor ini memilik hubungan dengan stroke berulang. Akan tetapi hasil
penelitian ini didapatkan p-value = 0,180
yang artinya tidak memiliki hubungan bermakna antara kegemukan dengan stroke
berulang. Kemungkinan ini terjadi karena perubahan pola hidup yang terjadi pada
pasien saat setelah mereka di diagnosis stroke oleh dokter, terlihat pada hasil
dari faktor diet pada penelitian ini juga yang didapatkan sebesar 52,9% dari
jumlah pasien yang menjadi responden melakukan diet yang dianjurkan oleh
dokter.
Menurut
Danish Cancer Society Research Center dalam
penelitiannya menyatakan obesitas pasien sementara secara signifikan lebih tinggi
pada pasien dengan berat badan melebihi berat badan normal dibandingkan dengan
pasien berat badan normal. Risiko diterima kembali untuk stroke berulang secara
signifikan lebih rendah pada pasien obesitas dibandingkan dengan berat badan
normal. Obesitas tidak hanya dikaitkan dengan penurunan mortalitas relatif
terhadap pasien berat badan normal. Dibandingkan dengan berat badan normal,
risiko diterima kembali untuk stroke berulang juga lebih rendah pada pasien
stroke obesitas.
Kegemukan merupakan faktor utama
beberapa penyakit kardiovaskular dan stroke. Kemungkinanannya menjadi lebih
tinggi seiring dengan peningkatan usia, dan kegemukan berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah, gula darah dan lemak. Obesitas merupakan momok dari
beragam penyakit.
4.
Pengaruh kebiasaan konsumsi alkohol terhadap
kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Pada penelitian ini juga diketahui bahwa
terdapat 70,6% pasien stroke berulang tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi
alkohol, artinya bahwa sebagian besar pasien yang mengalami kejadian stroke
berulang tidak pernah mengkonsumsi alkohol atau tidak mempunyai riwayat
konsumsi alkohol sebelum ataupun sesudah terserang stroke. Hal ini juga dapat
dilihat pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yusuf (2013) menunjukkan
68,1% pasien stroke berulang tidak mempunyai riwayat mengkonsumsi alkohol.
Namun, dalam penelitian ini juga
terlihat masih ada sebesar 2,9% pasien stroke berulang ke-3 dengan kebiasaan
yang masih mengkonsumsi alkohol. Hal ini yang berarti bahwa masih ada saja
pasien dengan riwayat stroke berulang, namun tetap mengkonsumsi alkohol dan menghiraukan
akibat yang diterimanya. Menurut Yusuf (2013) menunjukkan sebesar 56% pasien
stroke berulang dengan riwayat mengkonsumsi alkohol.
Dari hasil penelitian uji statistik yang
dilakukan pada penelitian ini juga didapatkan p-value = 0,823, yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan kejadian stroke berulang.
Akan tetapi hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusuf
(2013) menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi
alkohol dengan stroke berulang dengan besar p=0,002.
Hal ini berbeda kemugkinan dikarenakan perubahan kebiasaan hidup sebelum dan
sesudah terserang stroke. Semua ini juga terbukti dari hasil penelitian bahwa
sebagian penderita stroke yang dulunya pernah atau sering sekali mengkonsumsi
alkohol, tetapi setelah menderita stroke tidak lagi mengkonsumsi alkohol.
Darah yang mengandung alkohol dapat
merusak jaringan tubuh terutama hati, menyebabkan trombosis, memicu stress,
menyebabkan arteri menjadi tidak lentur, mengganggu ritme sirkadian tubuh
terutama menyebabkan gangguan tidur, menurunkan fungsi memori, dan meningkatkan
kadar gula dan lemak darah. Serentetan kondisi tersebut sangat beresiko memicu
stroke.
5.
Pengaruh diet terhadap kejadian berulang pada pasien
stroke di RSU Jayapura
Hasil penelitian saat ini menunjukkan
41,8% pasien stroke berulang yang menjalani diet. Hal ini berarti bahwa ada
sebanyak 14 pasien dengan serangan stroke yang kedua menjalani diet yang telah
dianjurkan oleh dokter ataupun petugas kesehatan. Menurut Yusuf (2013)
menunjukkan 67,6% pasien stroke yang patuh menjalani diet yang dianjurkan oleh
dokter.
Namun, dari hasil
penelitian ini juga masih didapatkan sebesar 8,8% pasien stroke berulang ke-3
yang tidak patuh menjalani diet. Hal ini berarti bahwa masih ada sebagian
pasien stroke yang mengalami kejadian berulang, tetapi tetap menghiraukan apa
yang telah dianjurkan oleh dokter sehingga menambah risiko mengalami kejadian
berulang. Jumlah tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yusuf (2013) menunjukkan sebesar 56,2% pasien stroke tidak patuh terhadap diet
yang dianjurkan dokter.
Dari hasil uji
statistik yang didapatkan dalam penelitian ini didapatkan p-value = 0,810 yang menyatakan bahwa tidak memiliki hubungan diet dengan
kejadian stroke berulang. Berbeda dengan hasil penelitian Yusuf (2013) yang
menyatakn bahwa ada hubungan bermakna antara diet dengan kejadian stroke
berulang dengan p-value = 0,003. Hal
ini dikarenakan sebagian besar penderita yang melakukan diet hanya pada
saat-saat tertentu saja, seperti pada saat mereka didalam suatu acara tertentu,
mereka menghiraukan pantangan yamg telah dianjurkan dokter dan tetap
mengkonsumsi apa yang dilarang oleh dokter atau petugas kesehatan.
6.
Pengaruh stres terhadap kejadian berulang pada
pasien stroke di RSU Jayapura
Stres dalam penelitian ini merupakan
variabel yang paling berpengaruh untuk terjadinya stroke berulang, baik secara
mandiri maupun bersama-sama. Risiko untuk terjadinya stroke berulang pada
penderita stroke dengan stres adalah 7,539
kali dibandingkan dengan penderita stroke dengan tidak stres.
Hasil pada penelitian saat ini
menunjukkan 44,1% pasien stroke berulang dengan stres. Hal tersebut berarti
bahwa ada sebanyak 15 pasien yang mengalami stroke berulang dan stres yang
dikarenakan stroke yang sedang dideritanya. Pengaruh kemaknaan stres terhadap
stroke berulang ini juga sangat terlihat pada stroke berulang serangan ketiga,
yaitu terdapat 20,6% pasien mengalami stress yang di sebabkan oleh stroke yang
dideritanya.
Stres bisa sangat mengganggu karena
mempengaruhi kualitas tidur, pekerjaan, hubungan dengan pasangan dan kesehatan.
Menurut Profesor Graeme Hankey dalam Bararah V. F. (2012), kepala unit stroke
di Royal Perth Hospital menuturkan stres kronis yang dialami seseorang bisa
menjadi faktor risiko untuk stroke, meskipun hubungan ini tidak terlalu kuat.
Dalam studi yang dilakukan Profesor Craig Anderson dari The George Institute
for Global Health dalam Bararah V. F. (2012) mengungkapkan stres tidak
berhubungan langsung dengan stroke. Tapi ada kemungkinan memperburuk gejala yang ada serta menjadi faktor risiko untuk stroke.
Sesuai dengan kerangka
konsep, dimana faktor stres saling berhubungan untuk terjadinya stroke
berulang. Setelah dilakukan analisis bivariat antara stres dengan kejadian
stroke berulang pada penderita stroke. Besarnya pengaruh stres, kemungkinan
karena kurang pengetahuannya terhadap dampak yang akan diakibatkan oleh stress.
Stres dapat berdampak langsung ataupun tidak langsung sebagai pemicu stroke
berulang. Stres merupakan faktor risiko hipertensi, PJK, obesitas, dan diabetes
yang semuanya merupakan faktor risiko penyebab stroke. Yang pasti, ketika
stress tidak dapat diredam, maka imunitas tubuh pada individu yang bersangkutan
akan melemah. Penurunan imunitas inilah yang selanjutnya berbuntut panjang,
diantaranya memperbesar risiko terserang stroke berulang.
7.
Pengaruh faktor-faktor yang paling
mempengaruhi kejadian berulang secara simultan di RSU Jayapura
Hasil analisis
multivariat regresi logistik berganda yang dilakukan pada penelitian saat ini
terhadap faktor kebiasaan merokok, aktifitas fisik, obesitas, kebiasaan
konsumsi alkohol, diet dan stres dengan kejadian stroke berulang didapatkan
nilai R Square yang telah disesuaikan sebesar 0,351. Hal ini berarti bahwa
hanya 35,1% kejadian stroke berulang yang disebabkan oleh faktor kebiasaan
merokok, aktifitas fisik, obesitas, kebiasaan konsumsi alkohol, diet dan stres
secara simultan atau bersama-sama. Sisanya sebesar 64,9% dipengaruhi oleh
variabel lain yang tidak diikutsertakan dalam model penelitian ini.
Semakin banyak faktor
risiko yang dipunyai, makin tinggi kemungkinan mendapatkan stroke berulang.
Faktor risiko stroke yang dipunyai harus ditanggulangi dengan baik, kerena
penanganan yang tepat dari faktor risiko tersebut sangat penting untuk prevensi
sekunder. Pada kelompok risiko tinggi setelah terjadi serangn stroke seharusnya
menjadi target penangan secara kontinyu untuk mencegah terjadinya stroke
berulang. Besarnya pengaruh jumlah faktor risiko yang dimiliki oleh seseorang
penderita stroke memberikan pemahaman bahwa semakin banyak faktor risiko yang
dipunyai, makin tinggi kemungkinan mendapatkan stroke berulang. Hal ini telah
terbuktikan oleh Makmur, dkk, didapatkan ada hubungan yang bermakna antara
faktor kombinasi dengan kejadian stroke berulang (p=0,01234), dengan risiko orang yang mempunyai 2 faktor risiko atau
lebih mengalami stroke berulang 1,33 kali lebih besar bila dibandingkan dengan
orang yang mempunyai 1 faktor risiko saja.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitiandapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Tidak
ada pengaruh kebiasaan merokok terhadap kejadian berulang pada pasien stroke (p-value = 0,261).
2. Tidak
ada pengaruh aktifitas fisik terhadap kejadian berulang pada pasien stroke (p-value = 0,258).
3. Tidak
ada pengaruh obesitas terhadap kejadian berulang pada pasien stroke (p-value = 0,180).
4. Tidak
ada pengaruh kebiasaan konsumsi alkohol terhadap kejadian berulang pada pasien
stroke (p-value = 0,823).
5. Tidak
ada pengaruh diet terhadap kejadian berulang pada pasien stroke (p-value = 0,810).
6. Ada
pengaruh stres terhadap kejadian berulang pada pasien stroke (p-value
= 0,261, OR = 7,539).
7. Pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian berulang
secara simultan dari keenam faktor sebesar 35,1%.
B. Saran
1. Rumah Sakit
Penyuluhan tetntang pola hidup sehat, pengendalian
faktor risiko dapat dilakukan secara langsung pada penderita dan keluarga serta
pemberian dukungan moral tentang keberhasilan pengobatan bagi penderita sangat
penting untuk mempercepat penyembuhan.
2.
Bagi Masyarakat
Masyarakat khususnya penderita stroke yang mempunyai
faktor-faktor risiko yang telah di jabarkan diatas hendaknya melakukan
pengendalian dengan cara melakukan pemeriksaan dan pengobatan secara teratur sesuai
anjuran dokter. Lebih lagi dalam perubahan pola hidup kurang sehat yang sering
dilakukan.
3.
Peneliti
Selanjutnya
a.
Perlunya
dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang faktor risiko kejadian stroke
berulang terutama yang berhubungan dengan gaya hidup termasuk stressor
psikososial.
b.
Perlu juga lebih
memperhatikan lagi teknik sampling dalam penelitian agar lebih menunjang hasil
penelitian yang lebih akurat lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Adientya,
Gabriella dan Fitria Handayani. (2012). Stres
Pada Kejadian Stroke. Jurnal Nursing Studies.
Alam,
S, P, T. (2013). Hubungan Asupan Lemak
(Mufa dan Pufa) dan Kadar Lipid Darah (Kolestrol Total, LDL, HDL, Trigliserida)
Pada Pasien Stroke Dengan Metode Food Recall dan Food Frekuensi Di Ruang Rawat
Inap RSUD Budhi Asih Jakarta Timur. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi,
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Esa Unggul Jakarta. (Online). http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-954-bab1.pdf.
Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Andersen
dan Olsen TS. (2013). The paradox
obesitas pada stroke : kematian lebih rendah dan risiko yang lebih rendah
diterima kembali untuk stroke berulang pada pasien stroke obesitas. Copenhagen : Denmark
Amelia,
Susi. (2012). Hubungan Antara Tugas
Kesehatan Keluarga Dengan Kejadian Stroke Berulang Pada Lansia di Wilayah Kerja
Puskesmas Lubuk Buaya Padang 2012. Skripsi, Program Studi Keperawatan,
Fakultas Kedokteran. Universitas Andalas. (Online). http://repository.unand.ac.id/17846/1/PENELITIAN%20SUSI.pdf.
Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
Bararah,
V, F. (2012). Adakah Hubungan Langsung
Stres dan Stroke?. (Online). http://health.detik.com/read/2012/10/11/135732/2060164/763/adakah-hubungan-langsung-stres-dan-stroke.
Diakses pada tanggal 4 Juni 2014.
Budiman.
(2011). Penelitian Kesehatan. Cetakan
Pertama. Refika Aditama : Bandung.
Cristy,
I. (2011). (Online). http://eprints.undip.ac.id/33923/3/Bab_2.pdf.
Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Dinkes.
(2011). Profil Kesehatan Provinsi Papua
Tahun 2011. Jurnal Penelitian. (Online). http://dinkes.papua.go.id/pdffiles/ProfKesProv/profilkes%202011.pdf.
Diakses pada tanggal 4 Maret 2014.
Fadlulloh,
F, S. (2014). Hubungan Tingkat
Ketergantungan Dalam Pemenuhan Aktivitas Kehidupan Sehari-Hari (AKS) Dengan
Harga Diri Penderita Stroke di Poliklinik Syaraf RSUD Prof. DR. Margono
Soekarjo Purwokerto. Skripsi, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Jendral Sudirman. (Online). http://keperawatan.unsoed.ac.id/sites/default/files/Siti%20Fathimah%20Fadlulloh_G1D010051.pdf.
Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Goldszmidt,
J, A dan Louis R. Caplan. (2011). Essensial
Stroke. EGC : Jakarta.
Junaidi, I. (2011). Stroke Waspadai Ancamannya
Panduan Stroke Paling Lengkap. Yogyakarta: ANDI.
Kemenkes.
(2013). Laporan Riset Kesehatan
Dasar/Rikesdas 2013. Jakarta : Litbangkes. Jurnal Penelitian. (Online). http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf.
Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
Lingga,
Lanny. (2013). All About Stroke. PT
Elex Media Komputindo : Jakarta.
Makmur
T., Anwar Y., Nasution D. (2002). Gambaran
Stroke Berulang di RS H. Adam Malik Medan. Nusantara
Martuti,
A. (2009). Merawat & Menyembuhkan
Hipertensi: Penyakit Tekanan Darah Tinggi. Bantul: Kreasi Wacana.
Median,
C, A. (Online). http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-794-1067169189-2.tesis%20akhir%20magister%20bagian%20isi%20(abdul%20chalik%20meidian)%20ok.pdf.
Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
Nastiti,
Dian. (2011). Gambaran Faktor Resiko
Kejadian Stroke Pada Pasien Stroke Rawat Inap di Rumah Sakit Krakatau Medika
Tahun 2011. Skripsi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia. (Online). http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20289574-S-Dian%20Nastiti.pdf.
Diakses pada tanggal 13 Maret 2014.
Padila.
(2012). Buku Aja : Keperawatan Medikal
Bedah. Cetakan Pertama. Nuha Medika : Yogyakarta.
Paramita,
et al. (2011). Nursing Memahami Berbagai
Macam Penyakit. Cetakan kedua. Permata Puri Media : Jakarta Barat.
Price,
A, Sylvia dan Laorraine M. Wilson. (2013). Patofisiologi
: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC : Jakarta.
Ratnasari,
Nining. (2014). Gambaran Keluarga Dalam
Memutuskan Tindakan Kesehatan Pada Keluarga Dengan Stroke Berulang di Wilayah
Kerja Puskesmas Ciputat Timur. Skrisi, Program Studi Ilmu Keperawatan,
Fakultas Kedokteran. Universitas Islam Negeri Syarif Hodayatullah. (Online). http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24154/1/Nining%20Ratnasari-fkik.pdf.
Diakses pada tanggal 13 Maret 2014.
Rendy,
Clevo dan Margareth TH. (2012). Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam. Cetakan Pertama. Nuha Medika
: Yogyakarta.
Roger et al. (2012) .Heart Disease and Stroke Statistics. (Online). https://circ.ahajournals.org/content/125/1/e2.extract. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Rois,
Sahli. (2014). Perbedaan Tingkat
Spiritual Pasien Stroke Serangan Pertama dan Serangan Berulang di RSUD Dr. R.
Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Skripsi, Jurusan Keperawatan, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Jendral Sudirman. (Online). http://keperawatan.unsoed.ac.id/sites/default/files/sahli%20rois.pdf.
Diakses pada tanggal 8 Maret 2014.
Saragi,
LF. (2010). (Online). http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789
/20042/4 /Chapter%20II.pdf. Diakses pada tanggal 9 Juni 2014.
Siswanto,
Yuliaji. (2005). Beberapa Faktor Resiko
Yang Mempengaruhi Kejadian Stroke Berulang. Tesis, Program Pasca Sarjana.
Universitas Diponegoro. (Online). http://eprints.undip.ac.id/14537/1/2005MEP4288.pdf.
Diakses pada tanggal 8 Maret 2014.
Suyanto.
(2011). Metode dan Aplikasi Penelitian
Keperawatan. Nuha Medika : Yogyakarta.
Setiadi.
(2007). Konsep & Penelitian Riset
Keperawatan. Cetakan Pertama. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Setiawan,
C, A. (2013). Pengaruh Dukungan Keluarga
Terhadap Motivasi Pasien Gagal Ginjal Kronik Untuk Menjalani Hemodialisa Di
RSUD Jayapura. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas
Kedokteran. Universitas Cenderawasih. Jayapura.
Sonatha,
Betty. (2012). Hubungan Tingkat
Pengetahuan Dengan Sikap Keluarga Dalam Pemberian Perawatan Pasien Pasca
Stroke. Skripsi, Program Studi Sarjana, Fakultas Ilmu Keperawatan.
Universitas Indonesia. (Online). http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20309163-S43198-Hubungan%20tingkat.pdf.
Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Thamrin,
Silvia. (2014). Proposal Blok 8
Penelitian. (Online). http://unnisilvi.blogspot.com/2014/02/proposal-blok-8-penelitian.html. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Tim
Penyusun. (2014). Buku Panduan Penuliasan
Skripsi dan Naskah Publikasi. Untuk Kalangan Mahasiswa. Program Studi Ilmu
Keperawatan : Jayapura.
Turana
& Arini. (2011). Stroke
the Silent Killer. (Online). http://medicastore.com/stroke.html. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
WHO. (2014). Stroke, Cerebrovascular accident. (Online). http://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/. Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
Wijaya,
S, A dan Yessie M. P. (2013). KMB2 (Keperawatan Medikal Bedah).
Cetakan Pertama. Nuha Medika : Yogyakarta.
Yusuf,
Rusna. (2013). Analisis Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Stroke Berulang Pada Pasien Stroke di RSUD dr. H
Bosoerie Ternate. Skripsi, Program Studi Keperawatan, Fakultas Ilmu
Keperawatan dan Kesehatan. Universitas Muhammadiya. (Online). http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/141/jtptunimus-gdl-rusnayusuf-7036-1-abstrak.pdf.
Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
Yenni.
(2011). Hubungan Dukungan Keluarga dan
Karakteristik Lansia Dengan Kejadian Stroke Pada Lansia Hipertensi di Wilayah
Kerja Puskesmas Perkotaan Bukittinggi. Tesis, Program Pasca Sarjana Ilmu
Keperawatan, Fakultas Keperawatan. Universitas Indonesia. (Online). http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282740-T%20Yenni.pdf.
Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.