Selasa, 21 Juni 2016

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Berulang pada Pasien Stroke di RSU Jayapura



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progesif cepat, berupa defisit neurologis fokal, atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian (Rendy & Margareth, 2012). Stroke disebabkan oleh gangguan suplai darah ke otak, biasanya karena semburan pembuluh darah atau tersumbat oleh gumpalan. Hal ini memotong pasokan oksigen dan nutrisi, menyebabkan kerusakan pada jaringan otak. Gejala yang paling umum dari stroke adalah kelemahan mendadak atau mati rasa pada wajah, lengan atau kaki, paling sering pada satu sisi tubuh. Gejala lain yang menyertai meliputi kebingungan, kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan, kesulitan melihat dengan satu atau kedua mata, kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau koordinasi, sakit kepala parah dengan tidak diketahui penyebabnya, pingsan atau tidak sadarkan diri. Akibat yang ditimbulkan oleh stroke tergantung pada bagian mana dari otak yang terluka dan seberapa parah itu terpengaruh. Stroke yang sangat parah dapat menyebabkan kematian mendadak (WHO, 2014).
Stroke menjadi masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus. Penyakit serebrovaskular ini merupakan salah satu penyebab utama kecacatan fisik dan kematian di dunia. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2011, stroke menjadi penyebab kematian kedua di dunia setelah penyakit jantung iskemik. Setiap tahun terdapat sekitar 795.000 orang mengalami serangan stroke, 610.000 diantaranya adalah stroke serangan pertama, sedangkan 185.000 lainnya merupakan stroke serangan berulang. Pada tahun 2008, angka kematian akibat stroke di Amerika Serikat mencapai 134.148 jiwa. Rata-rata dalam waktu 4 menit, satu orang meninggal akibat stroke (Roger et al., 2012).
Sedangkan, Badan kesehatan dunia memprediksi bahwa kematian akibat stroke akan meningkat, yaitu seiring dengan kematian akibat penyakit jantung dan kanker kurang lebih 6 juta pada tahun 2010 menjadi 8 juta di tahun 2030. Berdasarkan pernyataan yayasan Stroke Indonesia, masalah stroke semakin penting dan mendesak saat ini, karena jumlah penderita stroke di Indonesia terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia. Jumlah yang disebabkan oleh stroke menduduki urutan kedua pada usia diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia 15-59 tahun. Stroke merupakan penyebab kecacatan serius menetap nomor 1 di seluruh dunia (Turana & Arini, 2011).
Prevalensi stroke di Indonesia mencapai angka 12,1 per 1000 penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Sulawesi Selatan (17,9‰) diikuti oleh DI Yogyakarta (16,9‰), dan Papua (9,4‰) (Riskesdas, 2013). Sedangkan, prevalensi stroke menurut kabupaten/kota di Papua adalah 4 per 1000 penduduk, berkisar 0% - 12%. Prevalensi stroke tertinggi adalah kabupaten Boven Digoel (12%), dan Jayapura (3%) (Riskesdas, 2010).
Pasien stroke yang dapat bertahan hidup berisiko mengalami kecacatan fisik, seperti paralisis pada satu bagian tubuh, hilangnya kemampuan berbicara atau memahami pembicaraan orang lain, kehilangan memori, dan perubahan tingkah laku (Robbins et al., 2011). Selain itu, pasien stroke juga akan dibayangi masalah kesehatan yang serius selama hidupnya, yaitu serangan stroke berulang. Stroke berulang memiliki risiko kematian dan kecacatan lebih tinggi disbanding stroke serangan pertama, karena sel-sel otak yang telah rusak oleh stroke sebelumnya sulit untuk disembuhkan kembali (National Stroke Association, 2012).
Stroke menduduki urutan ketiga terbesar penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker, dengan laju mortalitas 18% sampai 37% untuk stroke pertama dan 62% untuk sroke berulang. Diperkirakan 25% orang yang sembuh dari stroke yang pertama akan mendapatkan stroke berulang dalam kurun waktu 5 tahun . Hasil penelitian epidemiologis menunujukan bahwa terjadinya risiko kematian pada 5 tahun pasca stroke adalah 45% - 61 % dan terjadinya stroke berulang 25% - 37% (Yulianto, 2011).
Menurut studi Framingham, insiden stroke berulang dalam kurun waktu 4 tahun adalah pada pria 42% dan wanita 24%. Mendapatkan kejadian stroke berulang 29,52% yang paling sering terjadi pada usia 60 – 69 tahun (36,5%), dan pada kurun waktu 1 - 5 tahun (78,37%) dengan faktor risiko utama adalah hipertensi (92,7%) dan dislipidemia (34,2%). Sekitar 28,5% penderita stroke di Indonesia meninggal dunia. Penelitian menunjukan stroke menyerang pria 30 % lebih tinggi daripada wanita (Adib, 2009; dalam Alam, 2013).
Berdasarkan studi di Oxfordshire Community Stroke Project, risiko stroke berulang tidak berhubungan dengan umur, jenis kelamin, tipe patologi stroke, dan riwayat penyakit jantung atau fibrilasi atrium sebelumnya tidak berhubungan secara pasti dengan stroke berulang. Faktor risiko yang memiliki kaitan erat dengan kejadian stroke berulang diantaranya hipertensi, kebiasaan merokok, aktifitas fisik/olahraga, obesitas, minum alkohol, diet dan stres, pengelolaan faktor risiko ini dengan baik akan mencegah terjadinya stroke berulang (Junaidi, 2011).
Hipertensi kronis dan tidak terkendali akan memacu kekakuan dinding pembuluh darah kecil yang dikenal dengan mikroangiopati. Hipertensi juga akan memacu munculnya timbunan plak pada pembuluh darah besar. Timbunan plak akan menyempitkan lumen atau diameter pembuluh darah. Plak yang tidak stabil akan mudah ruptur atau pecah dan terlepas. Plak yang terlepas akan meningkatkan risiko tersumbatnya pembuluh darah yang lebih kecil. Bila ini terjadi maka dapat menimbulkan gejala stroke (Pinzon & Asanti, 2010; dalam Yusuf, 2013).
Merokok memberikan konstribusi terbentuknya plak pada arteri. Asap rokok mengandung beberapa zat berbahaya yang sering disebut zat oksidator. Zat oksidator ini menimbulkan kerusakan dinding arteri dan menjadi tempat penimbunan lemak, sel trombosit, kolesterol, penyempitan dan pergeseran arteri diseluruh tubuh termasuk otak, jantung dan tungkai, sehingga merokok dapat memicu terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan darah menggumpal sehingga berisiko terkena stroke (Pinzon & Asanti, 2010; dalam Yusuf, 2013).
Berbagai fasilitas/sarana prasarana yang menunjang proses kehidupan, seperti mencuci dengan mesin cuci untuk rumah tangga, banyaknya kendaraaan bermotor serta kemajuan teknologi membuat aktifitas seseorang semakin hari semakin ringan atau mudah, namun dampak dari kemajuan teknologi ini membuat sesorang dapat menjadi pasif dan cenderung menimbulkan masalah berat badan dan dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi yang nantinya memicu terjadinya aterosklerosis bila masalah berat badan tidak diimbangi dengan olahraga yang cukup (Wahyu, 2009; dalam Cristy, 2011).
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan hipertensi, penyakit jantung, stroke, diabetes mellitus dan merupakan beban penting pada kesehatan jantung dan pembuluh darah. Obesitas dapat meningkatkan kejadian stroke terutama bila disertai dengan dislipedemia dan hipertensi melalui proses aterosklerosis. Obesitas juga dapat menyebabkan terjadinya stroke lewat efek snoring atau mendengkur dan tiba-tiba henti napas karena terhentinya suplai oksigen secara mendadak di otak. Obesitas juga membuat seseorang cenderung mempunyai tekanan darah tinggi, meningkatkan risiko terjadinya diabetes juga meningkatkan produk sampingan metabolisme yang berlebihan yaitu oksidan atau radikal bebas (Junaidi, 2011).
Martuti (2009), mengemukakan bahwa mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan darah secara cepat. Seseorang yang mengkonsumsi alkohol lebih dari 3 gelas atau lebih setiap hari sudah cukup untuk meningkatkan tekanan darah. Selanjutnya yaitu faktor diet, diet tinggi serat bermanfaat untuk menghindari kelebihan lemak, lemak jenuh dan kolesterol. Setiap gram konsumsi serat juga menghindari kelebihan gula dan natrium serta dapat menurunkan berat badan dan mencegah kegemukan. Dietary guedelines for American menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung serat 20-35 gr perhari (Martuti, 2009).
Sedangkan faktor risiko yang terakhir adalah faktor stress. Ketika seseorang mengalami stres, maka selanjutnya tubuh meresponnya dengan cara mengeluarkan hormon stres dan kemudian mengalami gejolak mulekul penghantar pesan (neurotransmiter) terutama adrenalin dan noradrenalin. Stres merangsang otak mengelurkan hormon aldosteron, kortisol, vasopresin, adenokortikotropin, dan TSH. Sejalan dengan peningkatan produksi hormon stres, denyut jantung semakin cepat, pembuluh darah bervasokontraksi, darah menggumpal, serta terjadi peningkatan kadar gula dan lemak darah. Kondisi-kondisi buruk tersebut diatas yang berisiko tinggi sebagai penyebab stroke (Lingga, 2013).
Seseorang yang pernah terserang stroke mempunyai kecenderungan lebih besar akan mengalami serangan stroke berulang, terutama bila faktor risiko yang ada tidak ditanggulangi dengan baik. Oleh karena itu, perlu diupayakan prevensi sekunder yang meliputi gaya hidup sehat dan pengendalian faktor risiko, yang bertujuan mencegah berulangnya serangan stroke pada seseorang yang sebelumnya pernah terserang stroke.
Berdasarkan laporan diruang penyakit saraf RSU Jayapura dalam 6 bulan terakhir, yaitu bulan September 2015 – Februari 2016 tercatat ada 75 pasien penderita stroke dan 30 pasien  diantaranya adalah pasien dengan stroke berulang. Stroke berulang timbul karena disebabkan oleh beberapa faktor risiko. Pada hampir seluruh pasien stroke di RSU Jayapura menunjukkan bahwa, faktor risiko utama stroke berulang adalah hipertensi.
Berdasarkan uraian diatas agar lebih mengerti tentang apa saja yang menjadi faktor risiko yang menyebabkan pasien mengalami stroke berulang maka peneliti tertarik untuk meneliti “Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Berulang pada Pasien Stroke di RSU Jayapura”.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian yaitu “Apakah faktor kebiasaan merokok, aktifitas fisik/olahraga, obesitas, minum alkohol, diet dan stres memiliki pengaruh terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura?”.
C.      Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum
Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
2.      Tujuan Khusus :
a.       Mengetahui pengaruh kebiasaan merokok terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
b.      Mengetahui pengaruh aktifitas fisik/olahraga terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
c.       Mengetahui pengaruh obesitas terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
d.      Mengetahui pengaruh minum alkohol terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
e.       Mengetahui pengaruh diet terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
f.       Mengetahui pengaruh stres terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
g.      Mengetahui pengaruh faktor-faktor yang paling mempengaruhi kejadian berulang secara simultan di RSU Jayapura.



D.      Manfaat Penelitian
1.    Bagi Institusi Pendidikan Kesehatan
Sebagai referensi bagi perpustakaan dan sebagai bahan acuan bagi penelitian berikutnya dimasa yang akan datang khususnya tentang faktor-faktor yang mempengarui kejadian berulang pada pasien stroke.
2.    Bagi Pelayanan Kesehatan
a.      Bagi Rumah Sakit
Menambah pengembangan pelayanan pasien stroke dan menjadi acuan bagi Rumah Sakit dalam menentukan faktor risiko bagi pasien stroke berulang di Ruang Penyakit Saraf RSU Jayapura.
b.     Bagi Pasien dan Keluarga
Diharapkan pasien dengan adanya penelitian ini dapat memahami lebih awal terhadap faktor risiko stroke berulang, karena apabila pengelolaan faktor risiko ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka kejadian stroke berulang pada pasien juga dapat dicegah.
3.      Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat berguna sebagai masukan atau informasi bagi peneliti selanjutnya dalam mengembangkan penelitian tentang pasien stroke berulang. 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.       Tinjauan Konsep Stroke
1.          Definisi
Stroke merupakan suatu penyakit defisit neurologis yang bersifat mendadak. Penyebabnya adalah gangguan pada aliran pembuluh darah di otak. beberapa hal yang dapat menyebabkan terganggunya aliran darah di otak antara lain adalah terbentuknya sumbatan pada pembuluh darah (stroke iskemik) maupun pecahnya pembuluh darah (stroke perdarahan), yang sama – sama dapat menyebabkan aliran suplai darah ke otak terhenti dan muncul gejala kematian jaringan otak (Turana & Arini, 2011).
Stroke atau cedera serebrovaskular merupakan penyakit serebrovaskular yang terjadi secara tiba – tiba dan menyebabkan kerusakan neurologis. Kerusakan neurologis tersebut dapat disebabkan oleh adanya sumbatan total atau parsial pada satu atau lebih pembuluh darah serebral sehingga menghambat aliran darah ke otak. Hambatan tersebut terjadi akibat pecahnya pembuluh darah atau penyumbatan pembuluh darah oleh gumpalan atau clot (Ikawati, 2011; dalam Thamrin Silvia, 2014).
Stroke atau penyakit serebrovascular mengacu kepada setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah yang lama dan masih digunakan adalah cerebrovascular accident (CVA). Namun, istilah ini sulit dipertahankan secara ilmiah karena patologi yang memdasari biasanya sudah ada sejak lama dan atau mudah diidentifikasi (Price & Wilson, 2013).
Stroke didefinisikan sebagai suatu gejala klinis atau tanda-tanda fokal yang berkembang pesat, dan secara umum (diterapkan pada pasien koma yang mendalam dan bagi mereka yang mengalami perdarahan subarachnoid), hilangnya fungsi otak, dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau yang dapat menyebabkan kematian, tanpa penyebab yang jelas selain dari gangguan vaskularisasi (Pendlebury dkk., 2009; dalam Meidian).
Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi saraf lokal dan/atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi saraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan (Riskesdas, 2013).
Bedasarkan beberapa uraian definisi tentang stroke diatas dapat ditarik kesimpulan stroke adalah suatu gangguan serebrovaskular yang menyebabkan kerusakan neurologis. Kerusakan neurologis tersebut disebabkan oleh adanya sumbatan pada pembuluh darah atau pecahnya pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah ke otak.




2.         Etiologi
Penyebab stroke dapat dibagi 3 yaitu:
a.    Trombosis Serebri
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti di sekitarnya. Trobosis dapat terjadi akibat arterosklerosis, hiperkoagulasi pada polisitermia, arteristis (radang pada arteri) dan emboli (Sonatha, 2012).
b.    Emboli Serebri
Embolisme serebri termasuk urutan kedua dari berbagai penyebab utama stroke. Penderita embolisme biasanya lebih mudah dibandingkan dengan penderita trombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus dalam jantung sehingga masalah yang dihadapi sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit jantung (Price, 2005; dalam Wijaya & Putri, 2013).
c.    Hemoragi
Hemoragi dapat terjadi di luar durameter (hemoragi eksra dural atau epidural) di bawah durameter (hemoragi subdural), di ruang sub arachnoid (hemoragi subarachnoid) atau dalam substansial otak (hemoragi intra serebral) (Price, 2005; dalam Wijaya & Putri, 2013).
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang subaraknoid atau ke dalam jaringan sebagai akibat dari pecahnya pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah diakibatkan oleh adanya arterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan. Sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan dan akan menyebabkan terjadinya infark otak, edema, dan mungkin herniasi otak (Sonatha, 2012).
3.         Klasifikasi
Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu:
a.    Stroke Hemoragi
Merupakan pendarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat.Kesadaran pasien umumnya menurun. Stroke haemorhagi adalah disfungsi nurologi fokal yang akut dan disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler (Widjaja, 1994; dalam Wijaya & Putri, 2013).
Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:
1)   Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral ke dalam jaringan otak (parenkim) paling sering terjadi akibat cedera vascular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu arteri dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Stroke yang disebabkan oleh perdarahan intraserebral paling sering terjadi saat pasien terjaga dan aktif. Karena lokasinya berdekatan dengan arteri-arteri dalam, basal ganglia, dan kapsula interna sering menerima beban terbesar tekanan dan iskemia yang disebabkan oleh stroke tipe ini (Sylvia & Wilson, 2013).
2)   Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisme berry atau malformasi anteriovena (MAV). Aneurisme yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak. Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang sub arachnoid menyebabkan Tekanan Intrakranial (TIK) meningkat mendadak, merenggangnya struktur peka nyeri dan vasospasme pembuluh darah serebral yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemi sensorik, afasia, dll) (Wijaya & Putri, 2013).
b.    Stroke Non Haemorhagic (CVA Infark)
Stroke iskemia umumnya menyerang pada pagi hingga siang hari (pukul 6.00-12.00) dimana tekanan darah secara alami mengalami peningkatan dari pagi hingga siang hari sehingga menyebabkan peningkatan perdarahan pada plak pembuluh darah (infrakplak hemoragik). Kondisi seperti ini menyebabkan penyempitan (stenosis) pembuluh darah yang mengalami arterosklerosis, peningkatan kekentalan (viskositas) darah, peningkatan agresi platelet, dan penurunan aktivitas TPA (endogen tissue plasminogen activator) (Lingga, 2013).
Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya :
1)   Trans Iskemik Attack (TIA)
Suatu gangguan akut dari fungsi lokal serebral yang gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam atau serangan sementara dan disebabkan oleh thrombus atau emboli. Satu sampai dua jam biasanya TIA dapat ditangani, namun apabila sampai tiga jam juga belum bisa teratasi sekitar 50 % pasien sudah terkena infark (Junaidi, 2011).
2)   Reversible Ischemic Neurogical Deficit (RIND)
Seperti juga TIA gejala neurologi dari RIND akan menghilang lebih dari 24 jam, biasanya RIND akan membaik dalam waktu 24-48 jam (Gofir, 2009).

3)   Stroke Involusi
Pada keadaan ini gejala atau tanda neurologis fokal terus berkembang dimana terlihat semakin berat dan memburuk setelah 48 jam. Defisit neurologis yang timbul berlangsung bertahap dari ringan sampai menjadi berat (Yusuf, 2013).
4)   Stroke Komplit
Gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh serangan TIA berulang (Wijaya & Putri, 2013).

4.         Patofisiologi
Otak manusia memiliki struktur yang kompleks. Otak manusia merupakan struktur pusat pengaturan yang memiliki volume sekitar 1.350 cc dan terdiri atas 100 juta sel syaraf atau neuron. Massa otak hanya sekitar 2% dari massa tubuh, tetapi otak menggunakan 20% curah jantung dari total yang dihasilkan. Glukosa dan oksigen yang dibawa melalui aliran darah berperan penting untuk mempertahankan metabolisme sel-sel otak. Aliran darah yang terhenti menuju ke otak akan menyebakan kerusakan dan kematian sel. Penimbunan lemak pada pembuluh darah dapat menghambat aliran darah menuju otak. Elastisitas pembuluh darah berkurang akibat adanya penimbunan lemak atau plak. Kerusakan 18 pada pembuluh darah khususnya arteri yang mensuplai darah ke otak inilah yang menimbulkan stroke (Fadlulloh, 2014).
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulus Willisi: arteria karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang di perdarahi oleh arteri tersebut. Alasanya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari bergai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa:
a.    Keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada arterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan.
b.    Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah.
c.    Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium, atau
d.   Ruptur vascular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid.  (Price, 2005; dalam Wijaya & Putri, 2013)
5.         Menifestasi Klinis
Pasien stroke pada awalnya mengalami tanda dan gejala berupa ketidak beresan yang sebelumnya sering dialami. Gejala tersebut meliputi tangan dan kaki kesemutan atau kaku, pandangan kabur, pusing, keseimbangan terganggu dengan intensitas yang lebih sering dirasakan. Hal yang perlu diwaspadai sebagai tanda-tanda peringatan stroke meliputi pusing yang disertai mual dan muntah, kebas pada muka, kaki dan tangan, kesulitan berkonsentrasi, penglihatan mendadak buram, kesulitan menelan makanan, sulit memegang atau meraih sesuatu (Lingga, 2013). Tanda lain yang mungkin muncul yaitu sering kejang dan jatuh pingsan secara mendadak bahkan hingga kehilangan kesadaran atau koma (Junaidi, 2011).
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Manifestasi klinis stroke menurut Smeltzer & Bare (2002; dalam Yusuf, 2013), antara lain defisit lapang pandang, defisit motorik, defisit sensorik, defisit verbal, defisit kognitif dan defisit emosional.
a.      Defisit lapang pandangan
1)      Tidak menyadari orang atau objek di tempat kehilangan penglihatan.
2)       Kesulitan menilai jarak.
3)      Diplopia.
b.     Defisit motorik
1)      Hemiparesis (kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama).
2)      Hemiplegi (paralisis wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama).
3)      Ataksia (berjalan tidak mantap, dan tidak mampu menyatukan kaki.
4)      Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
5)      Disfagia (kesulitan dalam menelan).
c.      Defisit sensorik : kebas dan kesemutan pada bagian tubuh
d.     Defisit verbal
1)      Afasia ekspresif (tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami).
2)      Afasia reseptif (tidak mampu memahami kata yang dibicarakan).
3)      Afasia global (kombinal baik afasia reseptif dan ekspresif).
e.      Defisit kognitif
1)      Kehilangan memori jangka pendek dan panjang.
2)      Penurunan lapang perhatian.
3)      Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi.
4)      Perubahan penilaian.
f.      Defisit emosional
1)      Kehilangan kontrol diri.
2)      Labilitas emosional.
3)      Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress.
4)      Depresi.
5)      Menarik diri.
6)      Rasa takut, bermusuhan dan marah.
7)      Perasaan isolasi.

6.         Stroke Berulang
Kejadian baru dari gejala yang muncul dapat dihitung sebagai kejadian baru atau stroke berulang, kriteria stroke secara umum dapat didefinisiskan seperti hal diatas dan harus memenuhi:
a.    Kejadian sebelumnya pada arteri yang sama dan terjadi pada 29 hari atau lebih dari serangan sebelumnya.
b.    Kejadian baru pada arteri yang berbeda dari sebelumnya dan terjadi pada 28 atau beberapa hari dari serangan sebelumnya.
(WHO, 2006; dalam Ratnasari, 2014)
Secara klinik gambaran perjalanan stroke ada beberapa macam, pertama defisit neurologiknya terjadi sangat akut dan maksimal saat munculnya serangan. Hal tersebut sering terjadi pada stroke oleh karena emboli. Selanjutnya, kedua yang dikenal dengan stroke in evolution atau progressing stroke adalah bilamana defisit neurologiknya memburuk secara bertahap yang umumnya dalam ukuran menit sampai jam sampai defisit neurologik yang maksimal tercapai (complet stroke), bentuk ini biasanya disebabkan karena perkembangan proses trombosis arterial yang memburuk atau suatu emboli yang rekuren. Stroke berulang juga didefinisikan sebagai kejadian serebrovaskuler baru yang mempunyai satu diantara kriteria berikut:
a.    Defisit neurologik yang berbeda dengan stroke pertama.
b.    Kejadian yang meliputi daerah anatomi atau daerah pembuluh darah yang berbeda dengan stroke pertama.
c.    Kejadian ini mempunyai sub tipe stroke yang berbeda dengan stroke pertama.
(Yusuf, 2013)
Menurut Junaidi (2011), kekambuhan stroke atau terjadinya stroke berulang dipengaruhi oleh tiga hal penting, yaitu :
a.    Penanggulangan faktor resiko yang ada dikaitkan dengan kepatuhan penderita dalam mengontrol atau mengendalikan faktor resiko yang telah ada, seperti menjaga kestabilan tekanan darah. Seseorang yang tekanan darah yang tidak dikontrol dengan baik akan meningkatkan resiko terjadinya stroke berulang.
b.    Pemberian obat-obatan khusus yang bertujuan untuk mencegah terjadinya stroke kedua atau stroke berulang, seperti penggunaan aspirin yang terbukti mengurangi terjadinya kejadian stroke berulang hingga 25%.
c.    Genetik, yaitu seseorang yang mempunyai gen untuk terjadinya stroke berulang.

7.         Faktor Resiko Kejadian Stroke Berulang
Stroke tidak mempunyai penyebab tunggal, melainkan banyak penyebab yang dapat menyebabkan seseorang mengalami stroke (multifactorial cause). Berbagai faktor yang terdapat pada seseorang bisa merupakan penyebab terjadinya stroke pada suatu ketika, hal tersebut mengakibatkan seseorang yang sudah pernah mengalami stroke kemungkinan dapat terjadi serangan kedua (stroke berulang) apabila faktor-faktor stroke masih tetap ada dan tidak dilakukan pengelolaan. Pengelolaan pada pasca stroke agar tidak menjadi stroke berulang tidaklah mudah, hal ini disebabkan karena berbagai faktor diantaranya faktor intrinsik (penderitanya yang menyangkut usaha dalam memodifikasi pola hidup serta faktor ekstrinsik yang meliputi lingkungan dan upaya dokter dalam membantu mengendalikan faktor resiko (Yusuf, 2013).
Secara garis besar, faktor resiko stroke dibagi menjadi 2, yaitu faktor tidak dapat diubah atau faktor yang bersifat menetap dan faktor yang dapat diubah atau faktor tidak menetap. Faktor tidak dapat diubah yang dimaksud adalah faktor genetik (ras), usia, gender, serta riwayat penyakit yang dialami oleh orang tua atau saudara sekandung (Lingga, 2013).
a.    Faktor Genetik
Gen tertentu memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap stroke. Sifat genetik yang terbawa oleh bangsa berkulit hitam beresiko tinggi terhadap stroke. Resiko yang hampir sama juga dimiliki oleh gen keturungan Afrika-Amerika (Afro Amerika). Penyakit-penyakit yang terkait dengan gen resesif yang rawan mereka alami menjadi faktor kuat yang menyebabkan mereka rentan terhadap stroke (Lingga, 2013).
Orang Asia memiliki kecenderungan terkena stroke lebih besar dari orang eropa, hal ini ada kaitannya dengan lingkungan hidup, pola makan dan sosial ekonomi. Makanan asia lebih banyak mengandung minyak dari pada makanan orang eropa. Menurut data kesehatan di amerika serikat, penduduk yang berasal dari keturunan afrika-amerika beresiko terkena serangan stroke 2 kali lebih besar dari penduduk keturunan eropa. Keadaan ini makin meningkatkan hampir 4 kali lipat pada umur sekitar 50 tahun, namun pada usia sekitar 65 tahun penduduk amerika yang terkena stroke sama dengan keturunan afrika-amerika (Wardhana, 2011).
b.    Usia
Stroke lebih banyak menyerang pasien dengan golongan umur 51-65 tahun. Pola penyakit stroke cenderung muncul pertama kali pada umur lebih tua yang masih produktif (Nastiti, 2012). Hal ini akibat adanya gangguan aliran darah sebagai bagian dari proses degeneratif, khususnya berkurangnya elastisitas pembuluh darah yang menyebabkan disfungsi sel endotel yang memicu terjadinya aterosklerotik. Heart and Stroke Foundation pada tahun 2006 menemukan 1 dari 5 orang yang berumur 50-64 tahun memiliki 2 atau lebih faktor risiko terkena stroke dan penyakit jantung, seperti: tekanan darah tinggi, diabetes, merokok, dan obesitas (Heart and Stroke Foundation, 2010). Pengkategorian usia menurut World Health Organization (WHO) dapat dibagi menjadi selisih rentang lima tahun, yaitu 35-39 tahun, 40-44 tahun, 45-49 tahun, 50-54 tahun, 55-59 tahun, dan 60-65 tahun (Fadlulloh, 2014).
Pertambahan usia meningkatkan resiko terhadap stroke. Hal ini disebabkan melemahnya fungsi tubuh secara menyeluruh terutama terkait dengan fleksibilitas pembuluh darah. Memasuki usia 50 tahun, resiko stroke menjadi berlipat ganda setiap usia bertambah 10 tahun. Pada wanita, ketika memasuki masa menopause resiko stroke meningkat karena estrogen yang semula berperan sebagai pelindung mengalami penurunan. Itu pula yang menjadi jawaban pertanyaan mengapa stroke lebih banyak dialami oleh wanita tua daraipada pria tua (Lingga, 2013).
c.    Gender
Menurut Nastiti (2012), proporsi pasien stroke dengan jenis kelamin laki-laki (67%) lebih besar dibandingkan perempuan (37%). Proporsi stroke hemoragik lebih sedikit dibandingkan stroke iskemik baik pada laki-laki maupun perempuan. Heart and Stroke Foundation mengungkapkan lebih banyak wanita Kanada meninggal akibat penyakit jantung dan stroke setiap tahunnya dibandingkan kanker (Heart and Stroke Foundation, 2010).
Pria lebih beresiko terhadap stroke dibandingkan wanita. Kebiasaan merokok yang lebih banyak dilakukan oleh kaum pria menjadi salah satu pemicu stroke pada sebagian besar kaum pria. Resiko hipertensi, hiperurisemia, dan hipertrigliseridemia yang tinggi pada kaum pria juga turut mendongkrak tingginya resiko stroke pada kaum pria. Meskipun demikian, kaum wanita tidak bisa begitu saja merasa aman, faktanya angka kematian akibat stroke pada kaum wanita jauh lebih tinggi dibandingkan yang terjadi pada kaum pria. Semua itu terjadi karena kerentanan tubuh kaum wanita tua tidak sanggup mengatasi komplikasi akibat stroke. Faktor lain yang diduga kuat menyebabkan wanita cenderung mengalami stroke parah karena wanita cenderung mengalami stres dan depresi (Lingga, 2013).
d.   Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Para ahli menyatakan adanya gen resesif yang mempengaruhinya. Gen tersebut terkait dengan penyakit-penyakit yang merupakan faktor resiko pemicu stroke. Penyekit terkait dengan gen tersebut antara lain diabetes, hipertensi, hiperurisemia, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner, dan kelainan pada pembuluh darah yang bersifat menurun (Lingga, 2013).
Bilamana kedua orang tua pernah mengalami stroke maka kemungkinan keturunannya terkena stroke semakin besar. Riwayat keluarga adanya serangan stroke atau penyakit pembuluh darah iskemik, sering pula didapat terjadi pada penderita stroke yang muda. Berbagai faktor penyebab termasuk prediposisi genetik aterosklerosis dapat menerangkan hal ini. Sedangkan anurisma intracranial sakular, malformasi pembuluh darah, dan angiopati amiloid sering familial dan ini merupakan penyebab stroke nonaterosklerotik (Poerwadi, 2000 dalam Siswanto, 2005, dalam Yusuf, 2013).
Sebagian insiden stroke terjadi karena faktor yang sesungguhnya dapat diubah. Dengan kata lain, jika faktor-faktor tersebut dieliminasi maka resiko stroke berulang dapat dicegah. Faktor-faktor yang bisa diubah ini terdiri atas hipertensi, kebiasaan merokok, aktifitas fisik/olahraga, obesitas, minum alkohol, diet dan stres. Faktor-faktor tersebut adalah :
a.    Hipertensi
Merupakan faktor resiko utama. Hipertensi dapat disebabkan arteroslerosis pembuluh darah serebral, sehingga pembuluh darah tersebut mengalami penebalan dan degenerasi yang kemudian pecah/menimbulkan perdarahan (Wijaya & Putri, 2013).
Hipertensi kronis dan tidak terkendali akan memacu kekakuan dinding pembuluh darah kecil yang dikenal dengan mikroangiopati. Hipertensi juga akan memacu munculnya timbunan plak pada pembuluh darah besar. Timbunan plak akan menyempitkan lumen atau diameter pembuluh darah. Plak yang tidak stabil akan mudah ruptur atau pecah dan terlepas. Plak yang terlepas akan meningkatkan resiko tersumbatnya pembuluh darah yang lebih kecil. Bila ini terjadi maka timbulnya gejala stroke (Pinzon & Asanti, 2010).
Hipertensi mempercepat pengerasan dinding pembuluh darah arteri dan mengakibatkan penghancuran lemak pada sel otot polos sehingga mempercepat proses aterosklerosis. Hipertensi berperanan dalam proses aterosklerosis melalui efek penekanan pada sel endotel atau lapisan dalam dinding arteri yang berakibat pembentukan plak pembuluh darah semakin cepat seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya 140/90 mmHg (Junaidi, 2011).
b.    Kebiasaan Merokok
Merokok memberikan konstribusi terbentuknya plak pada arteri. Asap rokok mengandung beberapa zat berbahaya yang sering disebut zat oksidator. Zat oksidator ini menimbulkan kerusakan dinding arteri dan menjadi tempat penimbunan lemak, sel trombosit, kolesterol, penyempitan dan pergeseran arteri diseluruh tubuh termasuk otak, jantung dan tungkai, sehingga merokok dapat memicu terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan darah menggumpal sehingga beresiko terkena stroke (Pinzon & Asanti, 2010).
Peranan rokok pada aterosklerosis menurut Junaidi (2011) adalah merokok menurunkan jumlah kolesterol baik dan menurunkan kemampuan kolesterol baik untuk menyingkirkan kolesterol jahat yang berlebihan karena sel-sel darah menggumpal pada dinding arteri, ini meningkatkan resiko pembentukan trombus dan plak. Rokok dapat menyebabkan peningkatan kecepatan detak jantung serta memicu penyempitan pembuluh darah.
Merokok merupakan faktor utama pembentukkan aterosklerosis. Pada penelitian Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC), pada,merokok ditemukan progresivitas yang tinggi pembentukan aterosklerosis. Orang yang merokok 50% lebih progresif pembentukan aterosklerosis dibandingkan orang yang tidak merokok. Pada penelitian di Poli Saraf RSUD Gambiran Kediri tentang hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian stroke tahun 2008, dengan menggunakan uji Chi Square dijumpai hasil p= 0,001 dengan tingkat kemaknaan α=0,05, dengan p < α yang berarti ada hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian stroke (Puspita, 2008, dalam Sianipar, 2013).
c.    Aktifitas Fisik (Olahraga)
Jika akhir-akhir ini stroke banyak dialami oleh para pekerja kantoran, penyebabnya antara lain kerena minimnya aktivitas fisik harian dan olahraga yang mereka lakukan. Padahal, dengan tidak pernah berolahraga rentan terhadap berbagai macam penyakit termasuk penyakit yang memicu stroke (Lingga, 2013).
Aktifitas fisik dapat dinilai dari aktifitas ditempat kerjanya maupun kegiatan olahraga. Aktifitas berat dipengaruhi dari kegiatan yang lebih banyak diluar ruangan dan banyak bergerak seperti atletik, tentara dan buruh bangunan. Aktifitas ini dilakukan lebih dari 3 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 jam seminggu. Aktifitas sedang dipengaruhi dari kegiatan yang dilakukan baik didalam ruangan maupun di luar ruangan, seseorang kurang aktif secara fisik (yang olahraganya kurang dari tiga kali atau kurang per minggu 30 menit) memiliki hampir 50% resiko terkena stroke dibanding mereka yang aktif.
Berbagai kemudahan hidup yang didapat seperti mencuci dengan mesin cuci untuk rumah tangga, banyaknya kendaraaan bermotor serta kemajuan teknologi membuat aktifitas seseorang semakin hari semakin ringan atau mudah, namun dampak dari kemajuan teknologi ini sesorang dapat menjadi pasif dan cenderung menimbulkan masalah berat badan dan dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi yang nantinya memicu terjadinya aterosklerosis bila masalah berat badan tidak diimbangi dengan olahraga yang cukup (Wahyu, 2009).


d.   Kegemukan (Obesitas)
Pada obesitas kadar kolestrol tinggi. Selain itu dapat mengalami hipertensi karena terjadi gangguan pada pembuluh darah. Keadaan ini berkontribusi pada stroke (Wijaya & Putri, 2013).
Obesitas dapat meningkatkan kejadian stroke terutama bila disertai dengan dislipedemia dan hipertensi melalui proses aterosklerosis. Obesitas juga dapat menyebabkan terjadinya stroke lewat efek snoring atau mendengkur dan tiba-tiba henti napas karena terhentinya suplai oksigen secara mendadak di otak. Obesitas juga membuat seseorang cenderung mempunyai tekanan darah tinggi, meningkatkan resiko terjadinya diabetes juga meningkatkan produk sampingan metabolisme yang berlebihan yaitu oksidan atau radikal bebas (Junaidi, 2011).
e.    Kebiasaan Mengonsumsi Alkohol
Minum alkohol secara teratur lebih dari 30 gram per hari (pria) atau 15 gram per hari (wanita), mabuk-mabukan (minum lebih dari 75% gram dalam 24 jam) dan alkoholisme dapat meningkatkan tekanan darah sehingga dapat meningkatkan resiko stroke. Minum alkohol dalam jumlah sedikit pun dapat meningkatkan tekanan darah, oleh karena itu harus dihindari untuk seorang yang memiliki riwayat hipertensi karena dapat menimbulkan komplikasi berat (Wahyu, 2009).
Martuti (2009), mengemukakan bahwa mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan darah secara cepat. Seseorang yang mengkonsumsi alkohol lebih dari 3 gelas atau lebih setiap hari sudah cukup untuk meningkatkan tekanan darah.
Darah yang mengandung alkohol dapat merusak jaringan tubuh terutama hati, menyebabkan trombosis, memicu stress, menyebabkan arteri menjadi tidak lentur, mengganggu ritme sirkadian tubuh terutama menyebabkan gangguan tidur, menurunkan fungsi memori, dan meningkatkan kadar gula dan lemak darah. Serentetan kondisi tersebut sangat beresiko memicu stroke (Lingga, 2013).
f.     Diet
Diet dengan tinggi lemak dan kurangnya buah dan sayur dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke. Asupan makanan yang mengandung banyak sayur dan buah dapat mengurangi terjadinya stroke. Pemakaian sodium yang berlebihan juga dapat meningkatkan tekanan darah (Black & Hawks, 2009).
Menurut Martuti (2009), mengemukakan bahwa pasien stroke perlu membatasi asupan garam karena kandungan mineral  natrium (sodium) didalamnya memegang peranan penting terhadap timbulnya hipertensi. Hasil penelitian menunjukan bahwa angka kejadian stroke meningkat pada pasien dengan kadar kolesterol diatas 240 mg%. Setiap kenaikan kolesterol 38,7 mg% menaikan angka stroke 25 % sedangkan kenaikan High Density Lipoprotein (HDL) 1 mmol (38,7 mg%) menurunkan terjadinya stroke setinggi 47%. Diet tinggi serat bermanfaat untuk menghindari kelebihan lemak, lemak jenuh dan kolesterol. Setiap gram konsumsi serat juga menghindari kelebihan gula dan natrium serta dapat menurunkan berat badan dan mencegah kegemukan. Dietary guedelines for American menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung serat 20-35 gr perhari.
g.    Stres
Ketika seseorang mengalami stres, maka selanjutnya tubuh meresponnya dengan cara mengeluarkan hormon stres dan kemudian mengalami gejolak mulekul penghantar pesan (neurotransmiter) terutama adrenalin dan noradrenalin. Stres merangsang otak mengelurkan hormon aldosteron, kortisol, vasopresin, adenokortikotropin dan Thyroid Stumulating Hormone (TSH). Sejalan dengan peningkatan produksi hormone, stres, denyut jantung semakin cepat, pembuluh darah bervasokontraksi, darah menggumpal, serta terjadi peningkatan kadar gula dan lemak darah. Kondisi-kondisi buruk tersebut diatas yang beresiko tinggi sebagai penyebab stroke (Lingga, 2013).

8.         Pemeriksaan Diagnostik
a.       Angiografi Serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri, oklusi/rupture.
b.      Elektro Encefalography
Mengindentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak atau mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
c.       Sinar X Tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa yang luas, klasifikasi karotis interna terdapat pada trobus serebral. Klasifikasi parsial dinding, aneurisma pada perdarahan subarachnoid.
d.      Ultrasonography  Doppler
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sitem arteri karotis/aliran darah/muncul plaque/arterosklerosis).
e.       CT-Scan
Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.
f.       MRI
Menunjukkan adanya tekanan abnormal dan biasanya ada trombosis, emboli dan TIA, tekanan meningkat dan cairan mengandung darah menunjukkan hemoragi subarachnoid/ perdarahan intracranial.
g.      Pemeriksaan Foto Thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke, menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah berlawanan dari masa yang luas.
h.      Pemeriksaan Laboratorium
1)      Fungsi Lumbal : Tekanan normal biasanya ada trombosis, emboli, TIA. Sedangkan tekanan yang meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid atau intracranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan proses inflamasi.
2)      Pemeriksaan darah rutin
3)      Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
(Wijaya & Putri, 2013)

9.         Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Smeltzer & Bare (2002, dalam Yusuf, 2013) meliputi:
1.       Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hemotokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
2.       Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan vesikositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3.       Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah keotak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral.

10.     Penatalaksaan
a.       Demam
Demam dapat mengeksasebasi cedera otak iskemik dan harus diobati secara agresif dengan antipiretik (asetaminofen) atau kompres dingin, jika diperlukan. Penyebab demam tersering adalah pneumonia aspirasi, lakukan kultur darah dan urine kemudian berikan antibiotik intravena secara empiris (sulbenisilin, sepalosporin, dll) dan terapi akhir sesuai hasil kultur.
b.      Nutrisi
Pasien stroke memiliki resiko tinggi untuk aspirasi. Bila pasien sadar penuh tes kemampuan menelan dapat dilakukan dengan memberikan satu sendok air putih kepada pasien dengan posisi setengah duduk dan kepala fleksi kedepan sampai dagu menyentuh dada, perhatikan pasien tersedak atau batuk dan apakah suaranya berubah (negatif).  Bila tes menelan negatif dan pasien dengan kesadaran menurun, berikan makanan enteral malalui pipa nasoduodenal ukuran kecil dalam 24 jam pertama setelah onset stroke.
c.       Hidrasi Intravena
Hipovolemia sering ditemukan dan harus dikoreksi dengan kristaloid isotonis. Cairan hipotonis (misalnya dektrosa 5% dalam air, larutan NaCl 0,45%) dapat memperhebat edema serebri dan harus dihindari.
d.      Glukosa
Walaupun relevansi klinis dari efek ini pada manusia belum jelas, tetapi para ahli sepakat bahwa hiperglikemia(kadar glukosa darah sewaktu >200mg/dl) harus dicegah. Skala luncur (sliding scale) setiap 6 jam selama 3-5 hari sejak onset stroke.


e.       Perawatan Paru
Fisiotrapi dada setiap 4 jam harus dilakukan untuk mencegah atelaktsis paru pada pasien yang tidak bergerak.
f.       Aktifitas
Pasien dengan stroke harus diimobilisasi dan harus dilakukan fisioterapi sedini mungkin bila kondisi klinis neurologis dan hemodinamik stabil. Untuk fisioterapi pasif pada pasien yang belum bergerak, perubahan posisi badan dan ekstramitas setiap 2 jam untuk mencegah dikubitus, latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif 4 kali sehari untuk mencegah kontraktur. Splin tumit untuk mempertahankan kaki dalam dorsofleksi dan dapat juga mencegah pemendekan tendon Achilles. Posisi kepala 30m derajat dari bidang horisontal untuk menjamin aliran darah yang adekuat ke otak dan aliran balik vena ke jantung, kecuali pada pasien hipotensi (posisi datar), pasien dengan muntah-muntah (dekubitus lateral kiri), pasien dengan gangguan jalan nafas (posisi kepala ekstensi). Bila kondisi memungkinkan, maka pasien harus diimobilisasi aktif ke posisi tegak, duduk dan pindah ke kursi sesuai toleransi hemodinamik dan neurologist.
g.      Neurorestorasi Dini
Stimulus sensorik, kognitif, memori, bahasa, emosi serta otak yang terganggu. Depresi dan amnesia juga harus dikenali dan diobati sedini mungkin.
h.      Profilaksi Trombosis Vena Dalam
Pasien stroke iskemik dengan imobilisasi lama yang tidak dalam pengobatan heparin intravena harus diobati dengan heparin 5.000 unit atau fraksiparin 0,3cc setiap 12 jam selama 5-10 hari untuk mencegah pembentukan thrombus dalam vena profunda, karena insidennya sangat tinggi. Terapi ini juga dapat diberikan dengan pasien perdarahan intraserebral setelah 72 jam sejak onset.
i.        Perawatan Vesika
Kateter urine menetap (kateter foley), sebaiknya hanya dipakai hanya ada pertimbangan khusus (kesadaran menurun, dimensia, afasia global). Pada pasien yang sadar dengan gangguan berkemih, kateterisasi intermiten secara steril setiap 6 jam lebih disukai untuk mencegah kemungkinan infeksi, pembentukan batu, dan gangguan sfingter vesika urine atau pasien wanita dengan inkontinensia atau retensio urine.
(Rendy & Margareth, 2012)

11.     Upaya Pencegahan
a.    Mengurangi kegemukan
b.    Berhenti merokok
c.    Berhenti minum kopi
d.   Batasi makan garam/lemak
e.    Tingkatkan masukan kalium
f.     Rajin berolahraga
g.    Mengubah gaya hidup
h.    Menghindari obat-obat yang dapat meningkatkan tekanan darah.

B.       Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan diatas, maka dapat disusun kerangka pikir dalam penelitian ini sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian Tentang Konsep Kejadian Stroke Berulang
Yang Tidak Dapat Diubah :
1.     Faktor Genetik
2.     Usia
3.     Gender
4.     Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


STROKE
Stroke Berulang
Yang Dapat Diubah :
1.      Kebiasaan Merokok
2.      Aktifitas Fisik/Olahraga
3.      Kegemukan (Obesitas)
4.      Kebiasaan Mengonsumsi Alkohol
5.      Diet
6.      Stres
Faktor Resiko
 












(Sumber: modefikasi Husni & Laksmawati, 2001. Lumantobing, 2002. Smeltzer & Bare, 2002. Black & Hawks, 2009. Wahyu, 2009. Pinzon & Asanti, 2010. Junaidi, 2011. Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia, 2007. Wardhana, 2011. Yusuf, 2013)


BAB III
METODE PENELITIAN

A.          
Variabel Bebas (Independent)
Kerangka Konseptual

Faktor-faktor yang mempengaruhi stroke berulang:
1.    Kebiasaan Merokok
2.    Aktifitas Fisik/Olahraga
3.    Kegemukan (Obesitas)
4.    Kebiasaan Mengonsumsi alkohol
5.    Diet
6.    Stres
Variabel Terikat (Dependent)
Stroke Berulang
Variabel Confounding
1.     Peningkatan TD
2.     Usia
3.     Jenis kelamin
4.     Riwayat penyakit keluarga
 











Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan:
                        : Variabel yang diteliti
                        : Variabel yang tidak diteliti
B.           Variabel Penelitian
Variabel penelitian mendeskripsikan topik/tema yang diteliti karena sudah terlihat pada saat peneliti menyusun latar belakang penelitian (Budiman, 2011).
1.     Variabel Independen
Variabel independen merupakan suatu variabel penelitian yang tidak ketergantungan kepada variabel lainnya atau bisa disebut juga variabel bebas (Budiman, 2011). Pada penelitian ini variabel independennya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi stroke berulang.
2.     Variabel Dependen
Variabel dependen merupakan suatu variabel penelitian yang ketergantungan kepada variabel penelitian lainnya atau bisa disebut juga variabel terikat (Budiman, 2011). Pada penelitian ini variabel dependennya adalah stroke berulang.
3.     Variabel Confounding
Variabel Perancu adalah jenis variabel yang berhubungan dengan variabel independen dan variabel dependen, tetapi bukan merupakan variabel mediator/perantara (Budiman, 2011). Pada penelitian ini variabel perancunya adalah peningkatan TD, usia, jenis kelamin dan riwayat penyakit keluarga.
C.           Definisi Operasional
1.      Stroke berulang adalah stroke yang terjadi atau muncul setelah serangan stroke yang pertama kali terjadi pada pasien di RSU Jayapura. Diukur dengan menggunakan skala nominal.
2.      Kebiasaan merokok adalah pasien yang berkunjung di RSU Jayapura dan memiliki kebiasaan menghisap asap dari gulungan tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan dihembuskan kembali ke luar. Diukur menggunakan skala nominal.
3.      Aktifitas fisik (olahraga) adalah kegiatan fisik yang dilakukan oleh pasien stroke dengan kunjungan berulang di RSU Jayapura termasuk kegiatan sehari-hari atau kepatuhan melakukan latihan fisik. Diukur dengan menggunakan skala nominal.
4.      Kegemukan (obesitas) adalah kondisi berat badan pasien stroke dengan kunjungan berulang di RSU Jayapura melebihi berat badan ideal. Data diukur menggunakan rumus IMT, dengan skala rasio.
5.      Kebiasanan mengonsumsi alkohol adalah kebiasaan pasien dengan stroke berulang meminum minuman yang mengandung alkohol. Diukur dengan menggunakan skala nominal.
6.      Diet adalah pengurangan jumlah makanan atau mengurangi asupan nutrisi tertentu karena pantangan dari penyakit yang diderita, misalnya penderita stroke dianjurkan diet tinggi serat dan banyak mengonsumsi sayur dan buah-buahan. Diukur dengan menggunakan skala nominal.
7.      Stres adalah gangguan psikis yang dialami seseorang penderita stroke berulang terhadap apa yang terjadi dengan dirinya saat ini. Diukur dengan mengguanakan skala nominal.

D.           Hipotesis
1.     Terdapat pengaruh faktor kebiasaan merokok terhadap stroke berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
2.     Terdapat pengaruh faktor aktifitas fisik/olahraga terhadap stroke berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
3.     Terdapat pengaruh faktor obesitas terhadap stroke berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
4.     Terdapat pengaruh faktor minum alkohol terhadap stroke berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
5.     Terdapat pengaruh faktor diet terhadap stroke berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
6.     Terdapat pengaruh faktor stres terhadap stroke berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura.
7.     Terdapat pengaruh faktor-faktor yang paling mempengaruhi kejadian kunjungan berulang secara simultan di RSU Jayapura.

E.           Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain analisis deskriptif, dan menggunakan pendekatan cross sectional. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan. Desain penelitian cross sectional study adalah suatu rancangan penelitian observasional yang dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan variabel dependen dimana pengukurannya dilakukan pada satu saat (Budiman, 2011).

F.            Populasi, Sampel, dan Sampling Penelitian
1.    Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian (Suyanto, 2011). Populasi dalam penelitian adalah pasien stroke yang datang berkunjung di ruang poliklinik saraf RSU Jayapura. Jumlah pasien stroke yang sedang menjalani rawat jalan di RSU Jayapura pada bulan Februari 2015 berjumlah 51 pasien.





2.    Sampel
Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Setiadi, 2007). Pada penelitian ini menentukan besar sampel dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:
Keterangan:
n  = besar sampel
N = Besar populasi
d2 = Tingkat kepercayaan (0,1) (Setiadi, 2007).
Pada penelitian ini diketahui bahwa jumlah pasien sebanyak 51 pasien. Sehingga jumlah sampel yang akan diambil adalah:
 dibulatkan 34 sampel
Jadi sampel yang diambil sebesar 34 sampel.
Untuk menentukan layak tidaknya sampel yang mewakili populasi untuk diteliti, ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a.    Kriteria Inklusi
1)      Pasien stroke yang mengalami kejadian berulang.
2)      Bersedia menjadi responden.
3)      Pasien sadar.
b.    Kriteria Eksklusi
1)      Pasien baru dengan stroke yang pertama kali.
2)      Tidak bersedia menjadi responden.
3.    Teknik Sampling
Kriteria pengembalian sampel menggunakan Purposive Sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbanagn tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti (Setiadi, 2007).
G.          Tempat dan Waktu Penelitian
1.    Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di ruang penyakit saraf dan poliklinik saraf RSU Jayapura.
2.    Waktu Penelitian
Penelitian ini telah berlangsung pada periode bulan April-Mei 2016.
H.           Alat Pengumpulan Data
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisoner. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 2 kuesioner yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden dan faktor-faktor yang mempengaruhi stroke berulang. Adapun kedua kuesioner tersebut, yaitu:
a.    Kuesioner pertama berisikan tentang karakteristik
Kuesioner pertama diisi oleh pasien, untuk mengetahui karakteristik pasien terdiri dari nama inisial, umur, berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, kejadian stroke, dan riwayat penyakit keluarga. Pertanyaan menggunakan pertanyaan tertutup dimana responden memberi tanda ceklist (P) pada jawaban yang sesuai dengan kondisi. Kuesioner ini terdiri dari 7 item (nomor 1- 7) yang dibuat oleh peneliti. Data yang didapat merupakan data primer.
b.    Kuesioner kedua : faktor-faktor yang mempengaruhi stroke berulang
Kuesioner kedua mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi stroke berulang. Pengisian pertanyaan faktor-faktor yang mempengaruhi stroke berulang dengan member tanda ceklist (P).Kuesioner ini terdiri dari 25 item (nomor 8- 32) yang dibuat oleh peneliti. Data yang didapat merupakan data primer.
Nilai atau skor untuk setiap faktor-faktor yang mempengaruhi stroke berulang kebiasaan merokok, aktifitas fisik, kebiasaan mengonsumsi alkohol, kegemukan (obesitas), diet, dan stres adalah  skor 1 untuk positif melakukan dan 0 untuk tidak melakukan. Dengan kriteria objektif :
a.         Jika jawaban responden secara yakin menjawab ya pada setiap bagian pertanyaan pada masing-masing faktor risiko, maka dapat disimpulkan bahwa responden merokok, melakukan aktifitas fisik, konsumsi alkohol, diet, dan stres.
b.        Sebaliknya jika secara yakin salah satu jawaban responden tidak pada setiap bagian masing-masing faktor, maka dapat disimpulkan bahwa responden tidak merokok, tidak melakukan aktifitas fisik, tidak konsumsi alkohol, tidak diet, dan tidak stres.
Kuesioner faktor-faktor yang mepengaruhi stroke berulang tersebut telah diuji validitas dan reliabilitas menggunakan program komputerisasi oleh peneliti dengan angka Alpha cronbach’s sebesar 0,831. Nilai tersebut sudah sesuai kriteria karena lebih besar dari 0,632 (nilai standart n=10, α=5%), maka data hasil angket memiliki tingkat reliabilitas yang baik, atau dengan kata lain data hasil angket dapat dipercaya.






I.          Pengolahan dan Analisa Data
1.     Pengolahan Data
Setelah data terkumpul maka dilakukan pengolahan data antara lain:
a.       Editing data
Tahap ini untuk meneliti kelengkapan dan kekonsistenan jawaban dari setiap kuisoner yang telah diisi oleh responden. Caranya dengan memeriksa kelengkapan jawaban, keterbacaan tulisan dan  relevansi jawaban.
b.      Coding data
Data kuisoner diberi kode pada kolom yang telah disediakan setiap item pertanyaan untuk memudahkan dalam pengolahan data.
c.       Entry data
Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian dimasukkan dalam table dengan cara menghitung dan memasukkan data melalui pengolahan koputerisasi.
d.      Cleaning data
Data yang telah di entry diperiksa kebenarannya dengan cara melihat missing data, dan yang salah, data yang tidak konsisten untuk menghindari kesalahan analisis.
e.       Mengeluarkan informasi
Disesuaikan dengan tujuan penelitian yang dilakukan.





2.         Analisa Data
a.       Analisis univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui gambaran karakteristik responden, dengan menyajikan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti.
b.      Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk menganalisa hubungan dua variabel yang saling mempengaruhi antara variabel satu dengan variabel lain. Dalam penelitian ini tingkat signifikan ekpektasi nilai >20% dan p<5 sehingga tidak bisa menggunakan uji Chi-Square, tetapi pada uji sebaran data atau normalitas data didapatkan data normal, maka menggunakan uji Pearson pada masing-masing faktor risiko.
Ketentuan :
H0 diterima bila p-value <0,05, dan H1 ditolak
H0 ditolak bila p-value ≥0,05, dan H1 diterima
c.       Analisa Multivariat
Analisa multivariate dengan regresi ganda logistik terhadap variabel yang memenuhi syarat pada analisis bivariat (p<0,25 pada analisis bivariat) untuk mengetahui pengaruh variabel terhadap kejadian stroke berulang. Dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
P = Peluang terjadinya efek
e = Bilangan natural
a = Konstanta
b1 sampai b3 = Koefisien regresi
J.             Etika Dalam Penelitian
Sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti mengajukan surat permohonan kepada Kepala RSU Jayapura serta Kepala ruangan polik saraf sebagai tempat penelitian yang akan dilakukan untuk mendapatkan ijin penelitian. Setelah mendapatkan ijin, peneliti memberikan kuesioner kepada responden untuk diisi. Dengan menekankan pada masalah etika meliputi:
a.    Lembar Persetujuan Penelitian (Informed Concent)
Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dari penelitian serta dampak yang mungkin akan terjadi selama dan sesudah pengumpulan data. Jika responden bersedia, maka responden menandatangi surat persetujuan penelitian untuk menjadi responden. Tetapi jika responden tidak bersedian menjadi responden, maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati hak responden.
b.    Tanpa Nama (Anonimity)
Untuk menjaga kerahasiaan subyek maka dalam lembar pengumpulan data penelitian tidak mencamtumkan nama responden, tetapi memberikan inisial atau kode tertentu.
c.    Kerahasiaan (Confidentiality)
Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang telah diberikan responden kepada peneliti dalam proses penelitian.

 
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.      Hasil Penelitian
1.      Gambaran umum RSU Jayapura
Rumah Sakit Umum (RSU) Jayapura merupakan milik pemerintah Provinsi Papua dengan luas tanah 361.262 m2 dan luas bangunan 16.000 m2. RSU Jayapura berlokasi di Jln. Kesehatan No. 01 Jayapura, Kelurahan Bhayangkara Dok II Jayapura Utara, Papua. Sarana fisik rumah sakit terdiri dari instalasi gawat darurat, instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, bedah sentral, radiologi diagnostik, laboratorium patologi klinik, laboratorium patologi anatomi, unit hemodialisa, instalasi rehabilitasi medic, instalasi gizi, instalasi farmasi, instalasi sanitasi, instalasi CSSD, instalasi laundry, instalasi rekam medik dan gedung kamar mayat.
Polik saraf merupakan salah satu bagian dari instalasi rawat jalan yang ada di RSU Jayapura dan merupakan tempat pelayanan kesehatan kepada pasien dengan gangguan saraf yang menjalani rawat jalan. Ruang polik saraf menjadi satu dengan polik psikiatri, sehingga jumlah tenaga kesehatan  di polik ini terdiri dari satu kepala SMF yang merangkap menjadi salah satu Dokter spesialis saraf, satu kepala perawat polik saraf, dua Dokter spesialis saraf, satu Dokter spesialis jiwa dan satu perawat. Ruangan terbagi menjadi 4 yaitu ruang registrasi, ruang kepala perawatan polik saraf, ruang pemeriksaan spesialis saraf, dan ruang pemeriksaan spesialis jiwa.




2.      Karakteristik responden
Tabel 4.1 Analisis Distribusi Frekuensi Pasien Stroke Dengan Kejadian Berulang Di RSU Jayapura, Mei 2016 (n=34)
Variabel
Frekuensi
Presentase (%)
Usia


≤49 Tahun
9
26,5
50-59 Tahun
15
44,1
60-69 Tahun
9
26,5
≥70 Tahun
1
2,9
Jenis Kelamin


Pria
21
61,8
Wanita
13
38,2
Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak Ada
27
79,4
Ada
7
20,6
Tekanan Darah


Normal
19
55,9
Tinggi
15
44,1
Stroke Ke-


Kedua
27
79,4
Ketiga
7
20,6
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa karakteristik responden lebih banyak berusia 50-59 tahun, yaitu  44,1% (15 orang), terdapat 26,5% (9 orang) masing-masing berusia ≤49 tahun dan 60-69 tahun dan 2,9% (1 0rang) yang berusia ≥70  tahun. Selanjutnya, terdapat 61,8% (21 orang) berjenis kelamin laki-laki dan 38,2% (13 orang) berjenis kelamin perempuan. Terdapat 79,4% (27 orang) tidak memiliki riwayat penyakit keluarga dan 20,6% (7 orang) memiliki riwayat penyakit keluarga. Terdapat 55,9% (19 orang) memiliki tekanan darah normal dan 44,1% (15 orang) memiliki tekanan darah tinggi. Terdapat 79,4% (27%) dengan kejadian stroke kedua kali dan 20,6% (7 orang) dengan kejadian stroke ketiga kali.
3.      Analisis deskriptif faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stroke berulang pada pasien stroke Di RSU Jayapura
Tabel 4.2 Analisis Distribusi Frekuensi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura, Mei 2016
Variabel
Frekuensi
Presentase (%)
Kebiasaan Merokok


Tidak Merokok
21
61,8
Merokok
13
38,2
Aktifitas Fisik


Kurang
5
14,7
Baik
29
85,3
Kegemukan


Normal
6
17,6
Kegemukan
28
82,4
Kebiasaan Konsumsi Alkohol


Tidak Konsumsi
30
88,2
Konsumsi
4
11,8
Diet


Tidak Diet
16
47,1
Diet
18
52,9
Stres


Tidak Stres
12
35,3
Stres
22
64,7
Sumber : Data primer 2016
Berdasarkan tabel 4.2, menunjukkan bahwa berdasarkan faktor kebiasaan merokok terdapat 61,8% (21 orang) memiliki kebiasaan merokok dan 38,2% (13 orang) tidak memiliki kebiasaan merokok. Selanjutnya, terdapat 85,3% (29 orang) memiliki aktifitas fisik baik dan 14,7% (5 orang) memiliki aktifitas fisik kurang. Terdapat 17,6% (6 orang) memiliki berat badan ideal atau batas normal dan 82,4% (28 orang) memiliki berat badan melebihi batas normal. Terdapat 11,8% (4 orang) memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan 88,2% (88,2 orang) tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Terdapat 52,9% (18 orang) menjalani diet yang dianjurkan dokter dan 47,1% (16 orang) tidak menjalani diet. Terdapat 64,7% (22 orang) mengalami stres dan 35,3% (12 orang) tidak mengalami stres.
4.      Analisis pengaruh kebiasaan merokok terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.3 Pengaruh Faktor Kebiasaan Merokok Terhadap Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura, Mei 2016 (n=34)
Variabel
Kejadian Stroke



Serangan Kedua
Serangan Ketiga
Total
p-value
N
%
N
%
n
%

Kebiasaan merokok






0,261
Tidak Merokok
18
52,9
3
8,8
21
61,8
Merokok
9
26,5
4
11,8
13
38,2
Total
27
79,4
7
20,6
34
100
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 4.3, menunjukkan bahwa terdapat 52,9% responden bukan perokok namun mengalami stroke berulang dengan serangan stroke kedua kali. Selanjutnya, terdapat 11,8% responden mengalami kejadian stroke berulang serangan ketiga dan sekaligus seorang perokok.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p-value = 0,261. Hal ini berarti bahwa H1>0,05. Dengan demikian, faktor kebiasaan merokok tidak memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian stroke berulang pada pasien di RSU Jayapura.
5.      Analisis pengaruh aktifitas fisik terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.4 Pengaruh Faktor Aktifitas Fisik Terhadap Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura, Mei 2014 (n=35)
Variabel
Kejadian Stroke



Serangan Kedua
Serangan Ketiga
Total
p-value
N
%
N
%
n
%

Aktifitas fisik






0,258
Baik
24
70,6
5
14,7
29
85,3
Kurang
3
8,8
2
5,9
5
14,7
Total
27
79,4
7
20,6
34
100
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 4.4, menunjukkan bahwa terdapat 70,6% responden dengan aktifitas fisik yang baik namun mengalami stroke berulang dengan serangan stroke kedua kali. Selanjutnya, terdapat 5,9% responden mengalami kejadian stroke berulang serangan ketiga dengan aktifitas fisik yang kurang.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p-value = 0,258. Hal ini berarti bahwa H1>0,05. Dengan demikian, faktor aktifitas fisik tidak memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian stroke berulang pada pasien di RSU Jayapura.

6.      Analisis pengaruh obesitas terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.5 Pengaruh Faktor Obesitas Terhadap Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura, Mei 2016 (n=34)
Variabel
Kejadian Stroke



Serangan Kedua
Serangan Ketiga
Total
p-value
n
%
N
%
n
%

Kegemukan






0,180
Normal
6
17,6
0
0
6
17,6
Kegemukan
21
61,8
7
20,6
28
82,4
Total
27
79,4
7
20,6
34
100
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 4.5, menunjukkan bahwa terdapat 61,8% responden dengan berat badan yang melebihi batas normal berat badan ideal yang mengalami stroke berulang dengan serangan stroke kedua kali. Selanjutnya, terdapat 20,6% responden mengalami kejadian stroke berulang serangan ketiga dan juga memiliki berat badan melebihi berat normal.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p-value = 0,180. Hal ini berarti bahwa H1>0,05. Dengan demikian, faktor kegemukan tidak memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian stroke berulang pada pasien di RSU Jayapura.






7.      Analisis pengaruh kebiasaan konsumsi alkohol terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.6 Pengaruh Faktor Kebiasaan Konsumsi Alkohol Dengan Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura, Mei 2016 (n=34)
Variabel
Kejadian Stroke



Serangan Kedua
Serangan Ketiga
Total
p-value
N
%
N
%
N
%

Kebiasaan konsumsi alkohol






0,823
Tidak Konsumsi
24
70,6
6
17,6
30
88,2
Konsumsi
3
8,8
1
2,9
4
11,8
Total
27
79,4
7
20,6
34
100
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 4.6, menunjukkan bahwa terdapat 70,6% responden tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol namun mengalami stroke berulang dengan serangan stroke kedua kali. Selanjutnya, terdapat 2,9% responden mengalami kejadian stroke berulang serangan ketiga dan sekaligus memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p-value = 0,823. Hal ini berarti bahwa H1>0,05. Dengan demikian, faktor kebiasaan konsumsi alkohol tidak memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian stroke berulang pada pasien di RSU Jayapura.



8.      Analisis pengaruh diet terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.7 Pengaruh Faktor Diet Terhadap Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura, Mei 2016 (n=34)
Variabel
Kejadian Stroke



Serangan Kedua
Serangan Ketiga
Total
p-value
N
%
N
%
n
%

Diet






0,810
Tidak Diet
13
38,2
3
8,8
16
47,1
Diet
14
41,2
4
11,8
18
52,9
Total
27
79,4
7
20,6
34
100
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 4.7, menunjukkan bahwa terdapat 41,2% responden melakukan diet yang dianjurkan oleh dokter namun mengalami stroke berulang dengan serangan stroke kedua kali. Selanjutnya, terdapat 8,8% responden mengalami kejadian stroke berulang serangan ketiga dan sekaligus tidak melakukan diet yang sudah dianjurkan oleh dokter.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p-value = 0,810. Hal ini berarti bahwa H1>0,05. Dengan demikian, faktor diet tidak memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian stroke berulang pada pasien di RSU Jayapura.






9.      Analisis pengaruh stres terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Tabel 4.8 Hubungan Faktor Stres Dengan Kejadian Berulang Pada Pasien Stroke Di RSU Jayapura, Mei 2016 (n=34)
Variabel
Kejadian Stroke




Serangan Kedua
Serangan Ketiga
Total
p-value
OR
N
%
N
%
n
%


Stres






0,028
7,539
Tidak Stres
12
35,3
0
0
12
35,3
Stres
15
44,1
7
20,6
22
64,7
Total
27
79,4
7
20,6
34
100
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 4.8, menunjukkan bahwa terdapat 44,1% responden mengalami stres dan juga mengalami stroke berulang dengan serangan stroke kedua kali. Selanjutnya, terdapat 20,6% responden mengalami kejadian stroke berulang serangan ketiga dan sekaligus mengalami stres.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p-value = 0,028. Hal ini berarti bahwa H1<0,05. Dengan demikian, faktor stres memiliki pengaruh secara bermaknan terhadap kejadian stroke berulang pada pasien di RSU Jayapura. Terlihat juga dari nilai OR = 7,539, hal ini menunjukkan bahwa faktor risiko stres mempunyai peluang 7,539 kali menyebabkan stroke berulang.



10.  Pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian berulang secara simultan di RSU Jayapura
Pengaruh kebiasaan merokok (X1), aktifitas fisik (X2), kegemukan (X3), kebiasaan konsumsi alkohol (X4), diet (X5), dan stres (X6) secara simultan terhadap kejadian stroke berulang di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura ditunjukkan pada tabel 4.9.
 Tabel 4.9 Pengaruh Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Berulang Secara Simultan Di RSU Jayapura, Mei 2016 (n=34)
Model
R Square
Std. Error of the Estimate
p-value
1
0,351
0,366
0,052
Sumber : Data Primer 2016
Pengaruh kebiasaan merokok (X1), aktifitas fisik (X2), kegemukan (X3), kebiasaan konsumsi alkohol (X4), diet (X5), dan stres (X6) secara simultan terhadap kejadian stroke berulang di RSU Jayapura secara statistik tidak berbeda secara bermakna (p-value = 0,052). Nilai R Square yang telah disesuaikan sebesar 0,351. Hal ini berarti bahwa hanya 35,1% variabel dependen (kejadian stroke berulang) dapat dijelaskan oleh variabel independennya (kebiasaan merokok (X1), aktifitas fisik (X2), kegemukan (X3), kebiasaan konsumsi alkohol (X4), diet (X5), dan stres (X6)). Sisanya sebesar 64,9% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diikutsertakan dalam model penelitian ini.

B.     Pembahasan
1.      Pengaruh kebiasaan merokok terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa terdapat 61,8% pasien stroke berulang tidak merokok, yang artinya bahwa kejadian stroke berulang pada penderita stroke yang merokok tidak berbeda dengan orang yang tidak merokok. Hal ini dapat dilihat juga pada penelitian yang dilakukan Siswanto (2005) menunjukkan terdapat 54% pasien dengan stroke berulang tapi tidak merokok.
Namun, masih terdapat sebesar 8,8% pasien dengan stroke berulang yang ke-3 dengan kebiasaan merokok, yang artinya bahwa ada sekitar 3 pasien stroke dengan kejadian berulang yang masih merokok meskipun sudah berulang kali mengalami stroke. Hal ini pun dapat dilihat pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Siswanto (2005) menunjukkan terdapat 46% pasien dengan riwayat stroke berulang yang masih merokok.
Semua hal diatas diperkuat juga dengan hasil uji statistik yang dilakukan pada penelitian saat ini yang menunjukkan p-value =0,261, yang berarti tidak ada pengaruh secara bermakna antara kebiasaan merokok terhadap kejadian stroke berulang.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena seseorang yang sudah terkena stroke atau mempunyai faktor risiko stroke biasanya akan mengurangi konsumsi rokok bahkan menghentikannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tugasworo (2002), bahwa pada perokok risiko stroke akan bertambah sekitar 2-3 kali dibandingkan bukan perokok dan baru hilang setelah berhenti merokok selama 5 hingga 10 tahun.
Merokok memberikan konstribusi terbentuknya plak pada arteri. Asap rokok mengandung beberapa zat berbahaya yang sering disebut zat oksidator. Zat oksidator ini menimbulkan kerusakan dinding arteri dan menjadi tempat penimbunan lemak, sel trombosit, kolesterol, penyempitan dan pergeseran arteri diseluruh tubuh termasuk otak, jantung dan tungkai, sehingga merokok dapat memicu terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan darah menggumpal sehingga beresiko terkena stroke.
2.      Pengaruh aktifitas fisik terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Menurut hasil penelitian tentang aktivitas fisik yang dilakukan oleh pesien stroke berulang terdapat sebesar 70,6% pasien stroke berulang dengan aktifitas fisik baik. Hal ini berarti bahwa sebagian besar pasien dengan kejadian stroke berulang memiliki aktifitas fisik yang baik, meskipun aktifitas yang mereka lakukan sangat ringan tetapi dilakukan secara rutin. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Siswanto (2005) terdapat 18% pasien dengan kejadian stroke berulang yang memiliki aktifitas fisik kurang atau tidak pernah melakukan aktifitas fisik yang telah dianjurkan dokter.
Namun, terdapat sebesar 5,9% pasien dengan kejadian stroke berulang ke-3 yang masih tidak sadar akan pentingnya aktifitas fisik bagi kemajuan penyakit yang dideritanya, sehingga tidak melakukan aktifitas fisik yang dianjurkan oleh dokter. Hal ini pun dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2013) menunjukkan ada 52,5% pasien dengan riwayat stroke berulang yang tidak melakukan aktifitas fisik yang dianjurkan oleh dokter secara rutin dan teratur.
Dari hasil uji statistik pada penelitian saat ini mendapatkan p-value sebesar 0,258, selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siswanto (2005) menunjukan nilai p-value = 0,34 yang artinya bahwa tidak ada pengaruh secara bermakna antara aktifitas fisik terhadap kejadian stroke berulang.
Tidak terdapatnya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian stroke berulang menurut pernyataan Siswanto (2005) menyatakan tidak adanya pengaruh aktivitas fisik terhadap kejadian stroke berulang mungkin disebabkan karena penderita stroke biasanya menyandang disabilitas akibat gangguan neurologi yang menetap sehingga aktifitas fisik yang mereka lakukan sangat ringan bahkan tidak bisa melakukannya.
Di samping itu karena ketidaktahuan mereka tentang pentingnya aktifitas fisik yang teratur terhadap kesehatan dan juga kebosanan karena untuk pemulihan diperlukan waktu yang cukup lama. Sehingga mereka melakukan aktivitas fisik secara rutin sesaat atau sementara setelah terjadinya serangan, setelah merasakan lebih baik kebanyakan para penderita ini tidak mau melakukan aktifitas fisik termasuk terapi secara rutin.

3.      Pengaruh obesitas terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa terdapat 82,4% pasien stroke berulang dan memiliki berat badan melebihi berat badan ideal. Hal ini berarti bila dilihat dari persentasenya seharusnya faktor ini memilik hubungan dengan stroke berulang. Akan tetapi hasil penelitian ini didapatkan p-value = 0,180 yang artinya tidak memiliki hubungan bermakna antara kegemukan dengan stroke berulang. Kemungkinan ini terjadi karena perubahan pola hidup yang terjadi pada pasien saat setelah mereka di diagnosis stroke oleh dokter, terlihat pada hasil dari faktor diet pada penelitian ini juga yang didapatkan sebesar 52,9% dari jumlah pasien yang menjadi responden melakukan diet yang dianjurkan oleh dokter.
Menurut Danish Cancer Society Research Center dalam penelitiannya menyatakan obesitas pasien sementara secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan berat badan melebihi berat badan normal dibandingkan dengan pasien berat badan normal. Risiko diterima kembali untuk stroke berulang secara signifikan lebih rendah pada pasien obesitas dibandingkan dengan berat badan normal. Obesitas tidak hanya dikaitkan dengan penurunan mortalitas relatif terhadap pasien berat badan normal. Dibandingkan dengan berat badan normal, risiko diterima kembali untuk stroke berulang juga lebih rendah pada pasien stroke obesitas.
Kegemukan merupakan faktor utama beberapa penyakit kardiovaskular dan stroke. Kemungkinanannya menjadi lebih tinggi seiring dengan peningkatan usia, dan kegemukan berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, gula darah dan lemak. Obesitas merupakan momok dari beragam penyakit.

4.      Pengaruh kebiasaan konsumsi alkohol terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Pada penelitian ini juga diketahui bahwa terdapat 70,6% pasien stroke berulang tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol, artinya bahwa sebagian besar pasien yang mengalami kejadian stroke berulang tidak pernah mengkonsumsi alkohol atau tidak mempunyai riwayat konsumsi alkohol sebelum ataupun sesudah terserang stroke. Hal ini juga dapat dilihat pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yusuf (2013) menunjukkan 68,1% pasien stroke berulang tidak mempunyai riwayat mengkonsumsi alkohol.
Namun, dalam penelitian ini juga terlihat masih ada sebesar 2,9% pasien stroke berulang ke-3 dengan kebiasaan yang masih mengkonsumsi alkohol. Hal ini yang berarti bahwa masih ada saja pasien dengan riwayat stroke berulang, namun tetap mengkonsumsi alkohol dan menghiraukan akibat yang diterimanya. Menurut Yusuf (2013) menunjukkan sebesar 56% pasien stroke berulang dengan riwayat mengkonsumsi alkohol.
Dari hasil penelitian uji statistik yang dilakukan pada penelitian ini juga didapatkan p-value = 0,823, yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan kejadian stroke berulang. Akan tetapi hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2013) menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan stroke berulang dengan besar p=0,002. Hal ini berbeda kemugkinan dikarenakan perubahan kebiasaan hidup sebelum dan sesudah terserang stroke. Semua ini juga terbukti dari hasil penelitian bahwa sebagian penderita stroke yang dulunya pernah atau sering sekali mengkonsumsi alkohol, tetapi setelah menderita stroke tidak lagi mengkonsumsi alkohol.
Darah yang mengandung alkohol dapat merusak jaringan tubuh terutama hati, menyebabkan trombosis, memicu stress, menyebabkan arteri menjadi tidak lentur, mengganggu ritme sirkadian tubuh terutama menyebabkan gangguan tidur, menurunkan fungsi memori, dan meningkatkan kadar gula dan lemak darah. Serentetan kondisi tersebut sangat beresiko memicu stroke.

5.      Pengaruh diet terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Hasil penelitian saat ini menunjukkan 41,8% pasien stroke berulang yang menjalani diet. Hal ini berarti bahwa ada sebanyak 14 pasien dengan serangan stroke yang kedua menjalani diet yang telah dianjurkan oleh dokter ataupun petugas kesehatan. Menurut Yusuf (2013) menunjukkan 67,6% pasien stroke yang patuh menjalani diet yang dianjurkan oleh dokter.
Namun, dari hasil penelitian ini juga masih didapatkan sebesar 8,8% pasien stroke berulang ke-3 yang tidak patuh menjalani diet. Hal ini berarti bahwa masih ada sebagian pasien stroke yang mengalami kejadian berulang, tetapi tetap menghiraukan apa yang telah dianjurkan oleh dokter sehingga menambah risiko mengalami kejadian berulang. Jumlah tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2013) menunjukkan sebesar 56,2% pasien stroke tidak patuh terhadap diet yang dianjurkan dokter.
Dari hasil uji statistik yang didapatkan dalam penelitian ini didapatkan p-value = 0,810 yang menyatakan bahwa tidak memiliki hubungan diet dengan kejadian stroke berulang. Berbeda dengan hasil penelitian Yusuf (2013) yang menyatakn bahwa ada hubungan bermakna antara diet dengan kejadian stroke berulang dengan p-value = 0,003. Hal ini dikarenakan sebagian besar penderita yang melakukan diet hanya pada saat-saat tertentu saja, seperti pada saat mereka didalam suatu acara tertentu, mereka menghiraukan pantangan yamg telah dianjurkan dokter dan tetap mengkonsumsi apa yang dilarang oleh dokter atau petugas kesehatan.

6.      Pengaruh stres terhadap kejadian berulang pada pasien stroke di RSU Jayapura
Stres dalam penelitian ini merupakan variabel yang paling berpengaruh untuk terjadinya stroke berulang, baik secara mandiri maupun bersama-sama. Risiko untuk terjadinya stroke berulang pada penderita stroke dengan stres adalah  7,539 kali dibandingkan dengan penderita stroke dengan tidak stres.
Hasil pada penelitian saat ini menunjukkan 44,1% pasien stroke berulang dengan stres. Hal tersebut berarti bahwa ada sebanyak 15 pasien yang mengalami stroke berulang dan stres yang dikarenakan stroke yang sedang dideritanya. Pengaruh kemaknaan stres terhadap stroke berulang ini juga sangat terlihat pada stroke berulang serangan ketiga, yaitu terdapat 20,6% pasien mengalami stress yang di sebabkan oleh stroke yang dideritanya.
Stres bisa sangat mengganggu karena mempengaruhi kualitas tidur, pekerjaan, hubungan dengan pasangan dan kesehatan. Menurut Profesor Graeme Hankey dalam Bararah V. F. (2012), kepala unit stroke di Royal Perth Hospital menuturkan stres kronis yang dialami seseorang bisa menjadi faktor risiko untuk stroke, meskipun hubungan ini tidak terlalu kuat. Dalam studi yang dilakukan Profesor Craig Anderson dari The George Institute for Global Health dalam Bararah V. F. (2012) mengungkapkan stres tidak berhubungan langsung dengan stroke. Tapi ada kemungkinan memperburuk gejala yang ada serta menjadi faktor risiko untuk stroke.
Sesuai dengan kerangka konsep, dimana faktor stres saling berhubungan untuk terjadinya stroke berulang. Setelah dilakukan analisis bivariat antara stres dengan kejadian stroke berulang pada penderita stroke. Besarnya pengaruh stres, kemungkinan karena kurang pengetahuannya terhadap dampak yang akan diakibatkan oleh stress. Stres dapat berdampak langsung ataupun tidak langsung sebagai pemicu stroke berulang. Stres merupakan faktor risiko hipertensi, PJK, obesitas, dan diabetes yang semuanya merupakan faktor risiko penyebab stroke. Yang pasti, ketika stress tidak dapat diredam, maka imunitas tubuh pada individu yang bersangkutan akan melemah. Penurunan imunitas inilah yang selanjutnya berbuntut panjang, diantaranya memperbesar risiko terserang stroke berulang.

7.      Pengaruh faktor-faktor yang paling mempengaruhi kejadian berulang secara simultan di RSU Jayapura
Hasil analisis multivariat regresi logistik berganda yang dilakukan pada penelitian saat ini terhadap faktor kebiasaan merokok, aktifitas fisik, obesitas, kebiasaan konsumsi alkohol, diet dan stres dengan kejadian stroke berulang didapatkan nilai R Square yang telah disesuaikan sebesar 0,351. Hal ini berarti bahwa hanya 35,1% kejadian stroke berulang yang disebabkan oleh faktor kebiasaan merokok, aktifitas fisik, obesitas, kebiasaan konsumsi alkohol, diet dan stres secara simultan atau bersama-sama. Sisanya sebesar 64,9% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diikutsertakan dalam model penelitian ini.
Semakin banyak faktor risiko yang dipunyai, makin tinggi kemungkinan mendapatkan stroke berulang. Faktor risiko stroke yang dipunyai harus ditanggulangi dengan baik, kerena penanganan yang tepat dari faktor risiko tersebut sangat penting untuk prevensi sekunder. Pada kelompok risiko tinggi setelah terjadi serangn stroke seharusnya menjadi target penangan secara kontinyu untuk mencegah terjadinya stroke berulang. Besarnya pengaruh jumlah faktor risiko yang dimiliki oleh seseorang penderita stroke memberikan pemahaman bahwa semakin banyak faktor risiko yang dipunyai, makin tinggi kemungkinan mendapatkan stroke berulang. Hal ini telah terbuktikan oleh Makmur, dkk, didapatkan ada hubungan yang bermakna antara faktor kombinasi dengan kejadian stroke berulang (p=0,01234), dengan risiko orang yang mempunyai 2 faktor risiko atau lebih mengalami stroke berulang 1,33 kali lebih besar bila dibandingkan dengan orang yang mempunyai 1 faktor risiko saja.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitiandapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.      Tidak ada pengaruh kebiasaan merokok terhadap kejadian berulang pada pasien stroke (p-value = 0,261).
2.      Tidak ada pengaruh aktifitas fisik terhadap kejadian berulang pada pasien stroke (p-value = 0,258).
3.      Tidak ada pengaruh obesitas terhadap kejadian berulang pada pasien stroke (p-value = 0,180).
4.      Tidak ada pengaruh kebiasaan konsumsi alkohol terhadap kejadian berulang pada pasien stroke (p-value = 0,823).
5.      Tidak ada pengaruh diet terhadap kejadian berulang pada pasien stroke (p-value = 0,810).
6.      Ada pengaruh stres terhadap kejadian berulang pada pasien stroke         (p-value = 0,261, OR = 7,539).
7.      Pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian berulang secara simultan dari keenam faktor sebesar 35,1%.

B.       Saran
1.      Rumah Sakit
Penyuluhan tetntang pola hidup sehat, pengendalian faktor risiko dapat dilakukan secara langsung pada penderita dan keluarga serta pemberian dukungan moral tentang keberhasilan pengobatan bagi penderita sangat penting untuk mempercepat penyembuhan.
2.      Bagi Masyarakat
Masyarakat khususnya penderita stroke yang mempunyai faktor-faktor risiko yang telah di jabarkan diatas hendaknya melakukan pengendalian dengan cara melakukan pemeriksaan dan pengobatan secara teratur sesuai anjuran dokter. Lebih lagi dalam perubahan pola hidup kurang sehat yang sering dilakukan.
3.      Peneliti Selanjutnya
a.       Perlunya dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang faktor risiko kejadian stroke berulang terutama yang berhubungan dengan gaya hidup termasuk stressor psikososial.
b.      Perlu juga lebih memperhatikan lagi teknik sampling dalam penelitian agar lebih menunjang hasil penelitian yang lebih akurat lagi.




DAFTAR PUSTAKA

Adientya, Gabriella dan Fitria Handayani. (2012). Stres Pada Kejadian Stroke. Jurnal Nursing Studies.
Alam, S, P, T. (2013). Hubungan Asupan Lemak (Mufa dan Pufa) dan Kadar Lipid Darah (Kolestrol Total, LDL, HDL, Trigliserida) Pada Pasien Stroke Dengan Metode Food Recall dan Food Frekuensi Di Ruang Rawat Inap RSUD Budhi Asih Jakarta Timur. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Esa Unggul Jakarta. (Online). http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-954-bab1.pdf. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Andersen dan Olsen TS. (2013). The paradox obesitas pada stroke : kematian lebih rendah dan risiko yang lebih rendah diterima kembali untuk stroke berulang pada pasien stroke obesitas. Copenhagen : Denmark
Amelia, Susi. (2012). Hubungan Antara Tugas Kesehatan Keluarga Dengan Kejadian Stroke Berulang Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang 2012. Skripsi, Program Studi Keperawatan, Fakultas Kedokteran. Universitas Andalas. (Online). http://repository.unand.ac.id/17846/1/PENELITIAN%20SUSI.pdf. Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
Bararah, V, F. (2012). Adakah Hubungan Langsung Stres dan Stroke?. (Online). http://health.detik.com/read/2012/10/11/135732/2060164/763/adakah-hubungan-langsung-stres-dan-stroke. Diakses pada tanggal 4 Juni 2014.
Budiman. (2011). Penelitian Kesehatan. Cetakan Pertama. Refika Aditama : Bandung.
Cristy, I. (2011). (Online). http://eprints.undip.ac.id/33923/3/Bab_2.pdf. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Dinkes. (2011). Profil Kesehatan Provinsi Papua Tahun 2011. Jurnal Penelitian.  (Online). http://dinkes.papua.go.id/pdffiles/ProfKesProv/profilkes%202011.pdf. Diakses pada tanggal 4 Maret 2014.
Fadlulloh, F, S. (2014). Hubungan Tingkat Ketergantungan Dalam Pemenuhan Aktivitas Kehidupan Sehari-Hari (AKS) Dengan Harga Diri Penderita Stroke di Poliklinik Syaraf RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto. Skripsi, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Jendral Sudirman. (Online). http://keperawatan.unsoed.ac.id/sites/default/files/Siti%20Fathimah%20Fadlulloh_G1D010051.pdf. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Goldszmidt, J, A dan Louis R. Caplan. (2011). Essensial Stroke. EGC : Jakarta.
Junaidi, I. (2011). Stroke Waspadai Ancamannya Panduan Stroke Paling Lengkap. Yogyakarta: ANDI.
Kemenkes. (2013). Laporan Riset Kesehatan Dasar/Rikesdas 2013. Jakarta : Litbangkes. Jurnal Penelitian. (Online). http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf. Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
Lingga, Lanny. (2013). All About Stroke. PT Elex Media Komputindo : Jakarta.
Makmur T., Anwar Y., Nasution D. (2002). Gambaran Stroke Berulang di RS H. Adam Malik Medan. Nusantara
Martuti, A. (2009). Merawat & Menyembuhkan Hipertensi: Penyakit Tekanan Darah Tinggi. Bantul: Kreasi Wacana.
Nastiti, Dian. (2011). Gambaran Faktor Resiko Kejadian Stroke Pada Pasien Stroke Rawat Inap di Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011. Skripsi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. (Online). http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20289574-S-Dian%20Nastiti.pdf. Diakses pada tanggal 13 Maret 2014.
Padila. (2012). Buku Aja : Keperawatan Medikal Bedah. Cetakan Pertama. Nuha Medika : Yogyakarta.
Paramita, et al. (2011). Nursing Memahami Berbagai Macam Penyakit. Cetakan kedua. Permata Puri Media : Jakarta Barat.
Price, A, Sylvia dan Laorraine M. Wilson. (2013). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC : Jakarta.
Ratnasari, Nining. (2014). Gambaran Keluarga Dalam Memutuskan Tindakan Kesehatan Pada Keluarga Dengan Stroke Berulang di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur. Skrisi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran. Universitas Islam Negeri Syarif Hodayatullah. (Online). http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24154/1/Nining%20Ratnasari-fkik.pdf. Diakses pada tanggal 13 Maret 2014.
Rendy, Clevo dan Margareth TH. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam. Cetakan Pertama. Nuha Medika : Yogyakarta.

Roger et al. (2012) .Heart Disease and Stroke Statistics. (Online). https://circ.ahajournals.org/content/125/1/e2.extract. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.

Rois, Sahli. (2014). Perbedaan Tingkat Spiritual Pasien Stroke Serangan Pertama dan Serangan Berulang di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Skripsi, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Jendral Sudirman. (Online). http://keperawatan.unsoed.ac.id/sites/default/files/sahli%20rois.pdf. Diakses pada tanggal 8 Maret 2014.
Saragi, LF. (2010). (Online). http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /20042/4 /Chapter%20II.pdf. Diakses pada tanggal 9 Juni 2014.
Siswanto, Yuliaji. (2005). Beberapa Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Kejadian Stroke Berulang. Tesis, Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro. (Online). http://eprints.undip.ac.id/14537/1/2005MEP4288.pdf. Diakses pada tanggal 8 Maret 2014.
Suyanto. (2011). Metode dan Aplikasi Penelitian Keperawatan. Nuha Medika : Yogyakarta.
Setiadi. (2007). Konsep & Penelitian Riset Keperawatan. Cetakan Pertama. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Setiawan, C, A. (2013). Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Motivasi Pasien Gagal Ginjal Kronik Untuk Menjalani Hemodialisa Di RSUD Jayapura. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran. Universitas Cenderawasih. Jayapura.
Sonatha, Betty. (2012). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Sikap Keluarga Dalam Pemberian Perawatan Pasien Pasca Stroke. Skripsi, Program Studi Sarjana, Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia. (Online). http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20309163-S43198-Hubungan%20tingkat.pdf. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Thamrin, Silvia. (2014). Proposal Blok 8 Penelitian. (Online). http://unnisilvi.blogspot.com/2014/02/proposal-blok-8-penelitian.html. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
Tim Penyusun. (2014). Buku Panduan Penuliasan Skripsi dan Naskah Publikasi. Untuk Kalangan Mahasiswa. Program Studi Ilmu Keperawatan : Jayapura.
Turana & Arini. (2011). Stroke the Silent Killer. (Online). http://medicastore.com/stroke.html. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.

WHO. (2014). Stroke, Cerebrovascular accident. (Online).  http://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/. Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.

Wijaya, S,  A dan Yessie M. P. (2013). KMB2 (Keperawatan Medikal Bedah). Cetakan Pertama. Nuha Medika : Yogyakarta.
Yusuf, Rusna. (2013). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stroke Berulang Pada Pasien Stroke di RSUD dr. H Bosoerie Ternate. Skripsi, Program Studi Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan. Universitas Muhammadiya. (Online). http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/141/jtptunimus-gdl-rusnayusuf-7036-1-abstrak.pdf. Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
Yenni. (2011). Hubungan Dukungan Keluarga dan Karakteristik Lansia Dengan Kejadian Stroke Pada Lansia Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Perkotaan Bukittinggi. Tesis, Program Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan, Fakultas Keperawatan. Universitas Indonesia. (Online). http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282740-T%20Yenni.pdf. Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar